Aku menuruni sejumlah
anak tangga di sebuah lorong berdinding triplek. Ukuran lorong sempit ini tak
lebih dari 2 meter persegi, jika ada seseorang berpas-pas-an dari arah
sebaliknya pasti harus berhimpitan, untungnya hal itu jarang terjadi di sini.
Setelah melewati persimpangan ruangan tepat di bawah lorong anak tangga, aku
menuju ke sebelah kanan, kemudian berbelok ke sebelah kanan lagi. Lorong-lorong
ini seperti labirin, karena dinding-dindingnya begitu rapat dan ruangnya kecil,
tapi entah mengapa juga terasa begitu efisien.
Sebuah pintu kaca
di hadapanku terbuka saat tangan kananku mendorong gagangnya, seketika angin
sepoi dari luar menerpa mukaku. Langit tampak begitu biru hari ini, horizon
nyaris tanpa awan, membuat panas matahari seolah tak terbendung menyengat udara
siang di kota Medan. Pendingin udara di dalam gedung benar-benar membuat
tubuhku harus beradaptasi dengan udara di luar yang panas, huff... benar-benar gerah.
Aku pun melesat
bersama motorku, meninggalkan gedung kursus komputer Tricom yang beberapa bulan
terakhir menjadi tempatku belajar. Paket satu tahun adalah program yang
kupilih. Setidaknya waktu yang dahulu terisi oleh jadwal padat organisasi bisa
tergantikan oleh kegiatan yang positif saat aku mulai tak lagi aktif pada
organisasi-organisasi yang dulu kugeluti. Yah, tentu saja selain motivasi untuk
menambah skill dan mendapat sertifikat tentunya.
Namun, aku harus
pintar membagi waktu, khusunya dalam menentukan jadwal kuliah yang kuambil.
Biasanya, mahasiswa semester akhir tak pernah punya banyak pilihan untuk
menentukan jadwal kuliahnya, tapi agak berbeda dengan mahasiswa yang punya track record nilai pas-pasan sepertiku.
Ada banyak pilihan jadwal untuk banyak matakuliah yang harus aku ulang :P Tak
jarang aku harus bolak-balik antara kampus dan tempat kursus dalam sehari.
Untunya jarak keduanya hanya terpaut beberapa blok saja.
Beberapa mobil
angkutan umum di depan memaksaku untuk menginjak rem. Jalan Iskandar Muda
tempat motorku melaju ini sering kali macet oleh karena ruas jalan yang tidak
lebar, sejumlah pengendara yang memarkirkan kendaraannya di badan jalan,
ditambah ulah sejumlah sopir angkutan umum yang kerap berhenti di tengah jalan
untuk memasukkan atau menurunkan penumpang. “Bahkan di siang hari seperti ini,
apa mereka tak sadar kalau pengendara motor yang satu ini sudah kepanasan
karena terik matahari? Mereka malah berhenti di tengah jalan seenaknya,”
pikirku menggerutu meski sadar apa yang kuharapkan mustahil terwujud.
Aku mengangkat
tangan kiri ke hadapan mukaku untuk melihat waktu yang tertera pada jam tangan
yang kukenakan. Akhir-akhir ini aku
memutuskan untuk memakai jam tangan, karena saat berkendaraan tidak perlu
merogoh kantong celana untuk melihat jam yang tertera di handphone. Tentu saja
selain alasan penampilan pastinya.
Jam tangan ini
sudah 4 tahun kubeli, tapi baru sekarang aku rajin mengenakannya. Masih ingat
dalam benakku bagaimana dulu saatku menemukannya di kawasan pasar Pecinaan di
Kuala Lumpur, Juni 2008. Saat itu sebenarnya aku sama sekali tak beniat untuk membeli
jam tangan, aku hanya menemani teman yang ingin berburu pakaian murah sekaligus
jalan-jalan santai. Ada satu peristiwa yang sampai sekarang masih kuingat di
malam saat aku membeli jam tangan ini. Sungguh peristiwa yang kalau
diingat-ingat selalu membuat galau.
Lain kali aku
akan menceritakannya. Yang jelas jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 12.30
WIB itu artinya aku harus bergegas menuju kampus karena ada mata kuliah 3 SKS yang
harus kuikuti. Bahkan sebelum menuju kesana, secara resmi aku sudah terlambat
10 menit. Ayo tancap gaaasss!!!...