“Ogah ah, kurang kerjaan banget,” Itulah jawaban yang
dikatakan sebagian besar siswa sekolah ketika ditawarkan untuk bergabung
dengan kegiatan ekstra kurikuler atau organisasi kesiswaan di
sekolahnya. Memang, boleh jadi tidak semua orang menggunakan kalimat
yang senada, akan tetapi maksud yang terkandung di dalamnya kurang lebih
sama.
Kehidupan yang serba mudah dan cepat era teknologi
seperti saat ini telah menciptakan generasi serba instan dan
individualistis. Instan karena kecendrungan untuk mendapatkan hasil yang
cepat dan mudah untuk segala hal sangat diprioritaskan, dan
individualistis karena demam teknologi smart phone dan gadget di
kalangan generasi muda bangsa ini justru menutup mata dan telinga
mereka terhadap persoalan sekitar dan lingkungannya. Kebanyakan dari
mereka hanya memikirkan segala hal yang terkait dengan diri atau pun
kelompok bermainnya saja, sehingga persoalan lain di luar hal itu diberi
label “ga penting.”
Yang menjadi ironi,
kebijakan pendidikan di negeri ini justru membentuk mental siswa-siswi
yang berorientasi pada nilai dan pencapaian prestasi akademik semata.
Ambang batas nilai kelulusan Ujian Nasional yang terus meningkat dari
tahun ke tahun membuat sebagian besar siswa “ketakutan” sehingga segala
upaya pun ditempuh, meski terkadang harus melanggar aturan dan tak
jarang menggadaikan harga diri. Akibatnya, para orang tua yang
menafkahkan biaya pendidikan putra-putrinya pun dibentuk pemikirannya
untuk menggapai segala upaya demi kelulusan sang anak. Masih lekat dalam
ingatan kita kejadian yang menimpa siami, Ibu seorang siswa di Surabaya
yang justru dicemooh oleh warga dan diusir dari lingkungannya karena
menyuarakan kejujuran.
Ada kecendrungan di kalangan siswa
bahwa mencapai nilai yang baik dan bisa masuk ke perguruan tinggi
ternama dianggap menjadi acuan pencapaian yang sangat sakral dan
dianggap sangat penting bagi masa depan serta menjadi satu-satunya
penjamin kesuksesan dalam hidup. Sehingga, munculah sikap apatis
terhadap persoalan diluar diri di kalangan siswa. Sikap “keakuan” ini
merupakan gejala paling dominan untuk menjelaskan minimnya kaderisasi
ekskul dan organisasi di sekolah hari ini.
Sesungguhnya
ada beberapa kekeliruan berpikir yang hendak diluruskan terkait
anggapan umum di kalangan siswa saat ini tentang kesuksesan dan masa
depan. Memang benar diakui, pendidikan akademik yang menitikberatkan
pada aspek kognitif (yakni aspek intelektual, seperti pengetahuan,
pengertian, dan keterampilan berpikir) merupakan salah satu kunci
kesuksesan seseorang, tetapi (yang harus dicatat) bukanlah yang paling
menentukan. Jika pencapaian materi dianggap sebagai indikator kesuksesan
seseorang, faktanya ada banyak orang kaya di dunia yang tidak sarjana.
Dikatakan oleh banyak ahli, kreativitas berpikir menjadi acuan bagi
kemajuan seseorang di bidang bisnis, dan hal tersebut tidak harus
dikaitkan dengan latar belakang pendidikan.
Anggapan yang
keliru lainnya adalah tentang kaitan antara perguruan tinggi dan dunia
kerja (karir). Banyak siswa yang menganggap lulusan perguruan tinggi
sudah pasti akan memperoleh karir yang mapan dan sekaligus berarti upah
yang tinggi. Ketahuilah, jika kita hidup di era 20 atau 30 tahun saat
orang tua kita bersekolah dulu mungkin anggapan tersebut memang benar.
Akan tetapi, era globalisasi yang menuntut kualitas dan kapabilitas hari
ini tidak berkata demikian, kondisi saat ini mengharuskan persaingan
yang sangat ketat. Ada banyak sarjana di republik ini yang harus
menanggalkan ijazahnya (yang mungkin lulus dengan predikat “cumlaude”)
setelah kalah dalam “kompetisi.” Hal ini terjadi karena pertumbuhan
angkatan kerja setiap tahun selalu lebih besar ketimbang kebutuhan
tenaga kerja (lowongan kerja). Pilihan studi juga terkadang tidak selalu
menentukan bidang karir seseorang. Semua tergantung dari rezeki dan
kemampuan memanfaatkan setiap peluang.
Ada orang bijak
yang mengatakan, “pilihan pada masa mudamu akan menentukan kehidupan di
masa tua mu.” Kalau begitu, artinya pilihan-pilihan aktivitas akademik
dan pengembangan diri yang ditawarkan kepada kita pada masa sekolah
menjadi sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan kita ketika
beranjak dewasa atau ketika meniti dunia karir. Karena itu berikut
disampaikan beberapa pandangan yang mudah-mudahan bisa membuka cakrawala
berpikir adik-adik yang masih bersekolah, agar kelak tidak salah
melangkah ataupun menyesal di kemudian hari.
Pertama,
tetapkan dulu cita-citamu. Mau jadi apa kamu di masa depan? Jika kita
sejak awal telah menetapkan cita-cita, maka kelak akan memudahkan kita
dalam menentukan program studi (pada saat SMA maupun saat mendaftar di
perguruan tinggi). Pilihan-pilihan kita dalam mengembangkan diri pun
akan disesuaikan dengan cita-cita tersebut. Maksudnya, segala aktivitas
yang kira-kira akan berkaitan atau menunjang studi yang kita minati.
Upayakan agar cita-cita kita tidak berubah di tengah jalan, karena itu
saat menentukan cita-cita hendaknya menimbang terlebih dahulu kemampuan
dan bakat kita, jangan terlalu ambisius atau malah sebaliknya, terlalu
pesimistis.
Kemudian, buang jauh-jauh anggapan bahwa lulus
perguruan tinggi atau program studi favorit adalah satu-satunya sarana
menuju kesuksesan. Anggapan itu justru akan menimbulkan pemahaman bahwa
perjuangan telah usai ketika telah memperoleh kursi di perguruan tinggi,
seolah-olah pintu menuju kesuksesan telah terbuka lebar di depan mata.
Ingat! Sistem pendidikan kita masih berorientasi aspek kognitif, kamu
bisa saja lulus di PT terkemuka tapi gagal dalam dunia kerja. Kenapa?
Karena dunia karir tidak lagi mengutamakan aspek kognitif melainkan
ketekunan, kreativitas, sikap dan tingkah laku. Karenanya, mari kita
anggap saja perguruan tinggi sebagai kendaraan menuju kesuksesan, tetapi
bukan satu-satunya sarana. Perjuangan pun belum usai, meski telah
mendapatkan titel mahasiswa.
Sebagian besar ilmu yang
diperoleh semasa menempuh sekolah dasar hingga menengah atas nyatanya
tidak banyak dipergunakan dalam kehidupan. Ilmu yang diterima semasa
sekolah dasar hanya sebagai pengantar untuk memahami pelajaran semasa
sekolah menengah, begitu pun seterusnya sampai masuk ke jenjang
perguruan tinggi. Pada akhirnya kita hanya memilih satu bidang studi,
fokus mempelajari dan mendalaminya sampai mendapatkan gelar sarjana.
Ketika lulus kita telah berusia 23 tahun. Taruhlah usia 25 tahun ketika
saatnya kita mulai meniti karir (2 tahun awal pasca lulus perguruan
tinggi biasanya diisi untuk mencari pengalaman kerja). Kalau usia
pensiun rata-rata saat 55 tahun, berarti usia produktif kita untuk
berkarya hanya 30 tahun saja.
Dari 30 tahun bekerja,
dikurangi hari libur dan cuti taruhlah berkurang 2 tahun, jadi hanya 28
tahun saja waktu kita untuk bekerja. Lalu saat bekerja apakah setiap
saat kita terus bekerja? Tentu tidak, pastilah ada potongan untuk
istirahat dan makan siang minimal 1 jam dari setiap 7 jam kerja
(rata-rata) per hari. Lalu, dari total keseluruhan waktu produktif
tersebut apakah semua aspek pekerjaan kita itu membutuhkan ilmu yang
kita peroleh semasa menempuh pendidikan di sekolah atau perguruan
tinggi? Jawabannya jelas tidak. Jika kamu menempuh karir di bidang jasa
(baik itu finansial, kesehatan, hukum, dll), ilmu dasar yang kamu
peroleh di perguruan tinggi akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan
kemampuan untuk memahami dan membangun kepercayaan kepada klien. Jika
kamu bekerja di sebuah korporasi atau institusi yang memiliki jenjang
rekrutmen, kecerdasan dan keterampilan yang kamu miliki tidak berarti
sama sekali jika kamu tidak memiliki kemampuan lobi untuk mendekati
atasan. Bahkan, jika kamu lulusan sekolah bisnis dan punya banyak
warisan sekalipun, untuk memimpin sebuah perusahaan yang kamu dirikan,
kemampuan untuk memimpin adalah syarat mutlak, dan hal tersebut tidak
dipelajari di ruang kelas.
Lalu dimanakah
kemampuan-kemampuan itu bisa kita raih? jawabannya ada pada ekskul dan
organisasi sekolah. Mengapa? Karena dengan berorganisasi, seluruh
pengalaman yang kelak akan dihadapi semasa meniti karir akan dirasakan
lebih awal saat berorganisasi. Ketika kita telah terbiasa dengan iklim
berorganisasi, maka kelak setelah tiba waktunya untuk memasuki dunia
kerja, kita tak lagi kesulitan. Tak hanya itu, berbeda dengan
keterbatasan penerapan ilmu yang kita dapatkan saat menempuh pendidikan
sekolah maupun perguruan tinggi, pengetahuan dan pengalaman
berorganisasi sebagian besar dipergunakan semasa menjalani hidup. Tidak
percaya?
Katakanlah kelak nanti kalian akan menikah dan
membangun sebuah keluarga. Sadarkah kalian bahwa keluarga adalah sebuah
unit organisasi? Di dalamnya ada sistem pembagian kerja, ada mekanisme
pemberian penghargaan atas tercapainya sebuah prestasi atau hukuman
ketika terjadi pelanggaran atas aturan yang telah disepakati. Di dalamya
juga ada sebuah musyawarah (biasanya berlangsung saat makan malam di
meja makan) untuk menentukan berbagai hal, mulai dari distribusi
anggaran untuk berbagai keperluan sampai hal-hal sederhana yang selalu
mengisi hangatnya kehidupan keluarga. Sadarkah kalian bahwa semua itu
juga berlangsung pada sebuah organisasi? Sebaliknya, kita tidak mungkin
mendiskusikan kemungkinan diterapkannya hukum archimedes pada teknologi
kapal selam terbaru, kemungkinan diciptakannya mesin waktu dengan teori
relativitas, atau apakah pertumbuhan ekonomi berpengaruh pada pembukaan
lapangan pekerjaan baru saat makan bersama dengan keluarga. Karena semua
diskusi itu hanya memungkinkan untuk berlangsung di ruang sempit, yang
disebut pekerjaan.
Belum lagi ketika kalian akan hidup
bertetangga dalam sebuah lingkungan, apakah kalian pikir bisa terlepas
dari pengaruh organisasi? Bahkan satuan lingkungan terkecil juga
merupakan organisasi. Intinya, semua aspek kehidupan kita tidak akan
pernah lepas dari yang namanya organisasi dan oleh karena itu alangkah
kasihannya kalian yang masih menganggap berpartisipasi di ekskul dan
organisasi sekolah sebagai suatu hal yang ga penting atau ga guna.
Memang, hari ini belum kelihatan dampak berorganisasi itu, tapi kelak
10 tahun yang akan datang jangan heran kalau rekan sekelas kamu yang
dulu sibuknya bukan main mengurus organisasinya akan menjadi para
pemimpin di perusahaan-perusahaan besar atau mendapatkan posisi
strategis di pemerintahan. Masi ga percaya juga ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar