Senin, 20 Februari 2012

Suatu Malam


Waktu menunjukkan pukul 23.30 saat tali sepatu terakhir berhasil kuikat dengan benar. Aku bergegas pergi keluar dari kamar setelah sebelumnya menyandang tas kecil bertali yang gampang ku bawa kemana-mana. Seketika, simbol anak panah yang mengarah ke bawah itu pun menunjukkan warnanya saat kutekan sekali, sebuah pintu di hadapanku terbuka tak lama setelahnya. Langsung saja aku masuk ke dalam ruang kecil berukuran tak lebih dari 5x5 meter yang interiornya bak cermin memantul di segala sisi itu, memastikannya turun ke lantai bawah, membawaku menuju ruang lobi hotel.

Seorang diri, aku akan menyusuri gemerlap malam di kota metropolitan terbesar ketiga di Thailand ini. Menjelajahi eksotika malam di setiap blok-nya, menemukan hal baru yang mungkin sedang menjadi tren, ataupun menyicip kuliner khas negeri gajah putih. Inilah Hat Yai, kota yang terletak di wilayah selatan Thailand. Dengan populasi lebih dari 157.000 orang, Distrik ini menjadi ibu kota provinsi Songklha yang berbatasan langsung dengan Malaysia.

Deretan pertokoan dan sejumlah gedung tinggi langsung menjadi pusat perhatianku saat keluar dari lobi hotel, membuat langkah kaki semakin bersemangat untuk menjelajah. Sejumlah kendaraan angkutan umum khas Thailand yang disebut Tuk-Tuk pun terparkir di pinggir jalanan seputar hotel. Melihat turis yang (mungkin) dianggap lahan basah ini, sejumlah supir Tuk-Tuk yang sedang beristirahat pun bangkit dan menunjukkan isyarat kepadaku untuk memakai jasanya. Kalau saja dompetku lebih tebal waktu itu, barangkali supir-supir itu tak perlu kecewa.

Di sini, pedagang kaki lima menjajakan dagangannya di seputaran trotoar jalan, persis seperti Indonesia. Namun hebatnya di sini trotoar-nya benar-benar rapi dan bersih, ruas-nya pun cukup lebar sehingga meskipun PKL berjualan di badan trotoar, masih ada ruas trotoar yang cukup untuk pejalan kaki yang berlalu-lalang. Barangkali pemerintah Thailand menyadari pentingnya membangun ruas trotoar yang luas untuk keperluan industri pariwisata dan menghidupkan PKL. 

PKL di sini menjual aneka souvenir buatan tangan yang unik dan dijual dengan harga yang cukup murah. Meskipun sudah dijual dengan harga patokan yang cukup murah, para calon pembeli masih bisa menawar. “One hundred and fifty bath,” dengan aksen Thai yang sangat mencolok seorang PKL menyebutkan harga dari gantungan kunci yang aku tunjuk. Di sekitar sini kalkulator menjadi alat utama sistem senjata yang penting digunakan oleh PKL, fungsinya selain menjumlah barang yang hendak dibeli, juga sebagai penunjuk harga bagi turis yang tak mengerti bahasa Thai. 

Wilayah sekitar hotel tempatku menginap memang di disain untuk keperluan pariwisata, pasalnya selain sejumlah hotel dan restoran, di kawasan ini juga terdapat pusat perbelanjaan, toko-toko penjual souvenir, spa, agen travel, dan pusat hiburan yang sangat ramai ketika malam hari. Bahkan ada sebuah jalan yang sengaja di tutup bagi kendaraan bermotor agar membuat turis lebih leluasa menjelajah. Di kawasan free car ini terdapat sejumlah gerai makanan mobile (he he) yang menjual makanan siap saji seperti ayam goreng, udang goreng, sampai aneka serangga goreng. Serangga goreng? Ya, di sini untuk pertama kalinya aku melihat lipan dengan ukuran raksasa ditusuk layaknya sate dan konsumsi oleh manusia. Hiiiiii....

Saat ini tengah malam, namun suasana kota tak jua redup. Pedagang kios yang menjajakan pakaian dan sendal masih ada yang buka. Sejumlah toko menjajakan produknya kepada pejalan kaki yang melintas dengan menyebarkan brosur. Tempat hiburan malam seperti cafe ala country yang sedang kulewati terlihat penuh dengan suasana hiruk pikuk manusia. Di dalamnya puluhan turis berkulit putih sedang mendengarkan lagu killing me softly yang dinyanyikan oleh seorang wanita lokal sambil menyeruput segelas bir yang terlihat cukup besar.

Di seberang jalan ada sebuah pasar yang sedang tutup. Pasar di sini biasanya menjual aneka kebutuhan bahan pangan dasar, sama seperti pasar induk di Indonesia. Hanya saja, ukuran buah-buahan yang dijual di pasar ini biasanya lebih besar dari pada yang dijual di tanah air. Beberapa jenis buah yang dijual juga ada yang tanpa biji. Sukses Thailand dalam mengembangkan sektor pertanian memang patut di acungi jempol. Meski tak memiliki luas lahan pertanian yang memadai, Thailand mampu menjadi produsen bahan pangan terbesar di dunia, terutama untuk komoditi beras.

Karena lelah berjalan dari tadi, aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak di salah satu sudut ruas trotoar di depan salah satu gerai franchise minimarket terkenal, Sevenel**en. Aku memutuskan untuk membeli minuman di minimarket. “Swade Krab”, sapa seorang gadis cantik yang menjadi kasir gerai itu.
Setelah selesai membeli minuman, aku duduk di pinggir trotoar yang kebetulan berbentuk anak tangga sambil menyeruput susu segar rasa fullcream. Saat itu jalanan di kota Hat Yai sudah sangat sepi, bahkan hampir tak ada kendaraan lagi yang berlalu lalang di jalanan.

Aku pun melihat foto-foto yang baru saja kuambil selama perjalanan melalui kamera poket. Jalan-jalan malam sendirian di negeri orang, bisa dibilang ini pengalaman yang sangat menyegarkan di tengah padatnya rutinitas yang akan kulalui setelah libur smester genap tahun 2010 ini.

Angin malam mulai menyapu sekujur tubuhku, rasa dingin ini seolah menambah kesunyian. Malam mulai larut dan waktunya untuk kembali ke penginapan. Saat itu, entah mengapa yang terlintas dibenakku adalah kamu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post