Waktu menunjukkan
pukul 23.30 saat tali sepatu terakhir berhasil kuikat dengan benar. Aku
bergegas pergi keluar dari kamar setelah sebelumnya menyandang tas kecil
bertali yang gampang ku bawa kemana-mana. Seketika, simbol anak panah yang
mengarah ke bawah itu pun menunjukkan warnanya saat kutekan sekali, sebuah
pintu di hadapanku terbuka tak lama setelahnya. Langsung saja aku masuk ke
dalam ruang kecil berukuran tak lebih dari 5x5 meter yang interiornya bak
cermin memantul di segala sisi itu, memastikannya turun ke lantai bawah,
membawaku menuju ruang lobi hotel.
Seorang diri, aku
akan menyusuri gemerlap malam di kota metropolitan terbesar ketiga di Thailand
ini. Menjelajahi eksotika malam di setiap blok-nya, menemukan hal baru yang
mungkin sedang menjadi tren, ataupun menyicip kuliner khas negeri gajah putih.
Inilah Hat Yai, kota yang terletak di wilayah selatan Thailand. Dengan populasi
lebih dari 157.000 orang, Distrik ini menjadi ibu kota provinsi Songklha yang
berbatasan langsung dengan Malaysia.
Deretan pertokoan
dan sejumlah gedung tinggi langsung menjadi pusat perhatianku saat keluar dari
lobi hotel, membuat langkah kaki semakin bersemangat untuk menjelajah. Sejumlah
kendaraan angkutan umum khas Thailand yang disebut Tuk-Tuk pun terparkir di pinggir jalanan seputar hotel. Melihat
turis yang (mungkin) dianggap lahan basah ini, sejumlah supir Tuk-Tuk yang
sedang beristirahat pun bangkit dan menunjukkan isyarat kepadaku untuk memakai
jasanya. Kalau saja dompetku lebih tebal waktu itu, barangkali supir-supir itu
tak perlu kecewa.
Di sini, pedagang
kaki lima menjajakan dagangannya di seputaran trotoar jalan, persis seperti
Indonesia. Namun hebatnya di sini trotoar-nya benar-benar rapi dan bersih,
ruas-nya pun cukup lebar sehingga meskipun PKL berjualan di badan trotoar,
masih ada ruas trotoar yang cukup untuk pejalan kaki yang berlalu-lalang.
Barangkali pemerintah Thailand menyadari pentingnya membangun ruas trotoar yang
luas untuk keperluan industri pariwisata dan menghidupkan PKL.
PKL di sini
menjual aneka souvenir buatan tangan yang unik dan dijual dengan harga yang
cukup murah. Meskipun sudah dijual dengan harga patokan yang cukup murah, para
calon pembeli masih bisa menawar. “One
hundred and fifty bath,” dengan aksen Thai yang sangat mencolok seorang PKL
menyebutkan harga dari gantungan kunci yang aku tunjuk. Di sekitar sini
kalkulator menjadi alat utama sistem senjata yang penting digunakan oleh PKL,
fungsinya selain menjumlah barang yang hendak dibeli, juga sebagai penunjuk
harga bagi turis yang tak mengerti bahasa Thai.
Wilayah sekitar
hotel tempatku menginap memang di disain untuk keperluan pariwisata, pasalnya
selain sejumlah hotel dan restoran, di kawasan ini juga terdapat pusat
perbelanjaan, toko-toko penjual souvenir, spa, agen travel, dan pusat hiburan
yang sangat ramai ketika malam hari. Bahkan ada sebuah jalan yang sengaja di
tutup bagi kendaraan bermotor agar membuat turis lebih leluasa menjelajah. Di
kawasan free car ini terdapat
sejumlah gerai makanan mobile (he he)
yang menjual makanan siap saji seperti ayam goreng, udang goreng, sampai aneka
serangga goreng. Serangga goreng? Ya, di sini untuk pertama kalinya aku melihat
lipan dengan ukuran raksasa ditusuk layaknya sate dan konsumsi oleh manusia.
Hiiiiii....
Saat ini tengah malam, namun suasana kota tak jua redup. Pedagang kios yang
menjajakan pakaian dan sendal masih ada yang buka. Sejumlah toko menjajakan
produknya kepada pejalan kaki yang melintas dengan menyebarkan brosur. Tempat
hiburan malam seperti cafe ala country yang sedang kulewati terlihat penuh
dengan suasana hiruk pikuk manusia. Di dalamnya puluhan turis berkulit putih
sedang mendengarkan lagu killing me
softly yang dinyanyikan oleh seorang wanita lokal sambil menyeruput segelas
bir yang terlihat cukup besar.
Di seberang jalan
ada sebuah pasar yang sedang tutup. Pasar di sini biasanya menjual aneka
kebutuhan bahan pangan dasar, sama seperti pasar induk di Indonesia. Hanya
saja, ukuran buah-buahan yang dijual di pasar ini biasanya lebih besar dari
pada yang dijual di tanah air. Beberapa jenis buah yang dijual juga ada yang
tanpa biji. Sukses Thailand dalam mengembangkan sektor pertanian memang patut
di acungi jempol. Meski tak memiliki luas lahan pertanian yang memadai,
Thailand mampu menjadi produsen bahan pangan terbesar di dunia, terutama untuk
komoditi beras.
Karena lelah
berjalan dari tadi, aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak di salah satu
sudut ruas trotoar di depan salah satu gerai franchise minimarket terkenal, Sevenel**en. Aku memutuskan untuk
membeli minuman di minimarket. “Swade Krab”, sapa seorang gadis cantik yang
menjadi kasir gerai itu.
Setelah selesai
membeli minuman, aku duduk di pinggir trotoar yang kebetulan berbentuk anak
tangga sambil menyeruput susu segar rasa fullcream. Saat itu jalanan di kota
Hat Yai sudah sangat sepi, bahkan hampir tak ada kendaraan lagi yang berlalu
lalang di jalanan.
Aku pun melihat
foto-foto yang baru saja kuambil selama perjalanan melalui kamera poket. Jalan-jalan
malam sendirian di negeri orang, bisa dibilang ini pengalaman yang sangat
menyegarkan di tengah padatnya rutinitas yang akan kulalui setelah libur
smester genap tahun 2010 ini.
Angin malam mulai
menyapu sekujur tubuhku, rasa dingin ini seolah menambah kesunyian. Malam mulai
larut dan waktunya untuk kembali ke penginapan. Saat itu, entah mengapa yang
terlintas dibenakku adalah kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar