Pernahkah suatu kali Anda berdiam diri dan memikirkan tentang bagaimana masa depan dunia ?
Sebagai seorang pemuda yang masih berusia 20 tahunan, suatu kali saya pernah memikirkannya. Mungkin 20 atau 40 tahun dari sekarang, saat saya berada pada puncak kematangan usia, hingga menuju hari-hari menjelang senja kehidupan. Ketika itu saya akan memiliki sebuah keluarga, membesarkan anak-anak dan melihat mereka tumbuh dewasa. Membayangkan, bagaimana hidup berdampingan dengan warga dunia lainnya dengan tenang, aman, dan sejahtera. Namun, apakah semuanya akan berjalan sebagaimana harapan ?
Sekarang mari kita bercermin dengan kondisi dunia hari ini. Jumlah populasi semakin bertambah, sedangkan lahan pertanian dan akses air bersih yang sehat semakin berkurang karena iklim yang semakin tak bersahabat serta eksploitasi alam yang berlebihan. Anggaran pendidikan dan kesehatan kian terbatas, kesempatan kerja cenderung menurun, kesetaraan gender dalam akses pendidikan masih timpang, dan penegakkan HAM jauh dari kepastian. Membengkaknya angka kematian ibu dan jumlah penyakit menular, semua itu masih terjadi hari ini dan terus mengancam umat manusia di masa yang akan datang.Tanpa antisipasi yang benar, maka sebagian besar populasi akan terjebak dalam kondisi yang serupa pada tahun 2030.
Lantas, sebagai warga dunia yang kelak akan mewarisi masa depan dengan beban semua kondisi yang terjadi hari ini, apakah kita tidak tergerak untuk menyampaikan kegelisahan ini ?
Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui United Nation Development Program (UNDP) kembali menyusun rumusan tentang bagaimana pembangunan masa depan dicanangkan. Setelah batas waktu Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) berakhir pada tahun 2015, diperlukan suatu kesepakatan baru tentang apa-apa saja yang akan menjadi prioritas pembangunan yang akan menjadi fokus kebijakan para pemimpin negara-negara dunia di masa yang akan datang.
Untuk menjaring aspirasi dari elemen masyarakat sipil, PBB menyelenggarakan survei yang bisa diakses melalui situs http://www.myworld2015.org/
Melalui survei tersebut Anda bisa memilih 6 hal prioritas yang menjadi kerangka kerja dalam program pembangunan dunia di masa depan. Hingga saat ini, hasil sementara menunjukkan kesempatan kerja yang lebih baik dan kualitas pendidikan yang baik menjadi pilihan mayoritas responden.
Lalu, bagaimana dengan Anda sendiri, menurut Anda manakah 6 hal yang menjadi prioritas utama untuk diwujudkan sebagai kerangka kerja pembangunan dunia pasca 2015 ? Berpatisipasilah dalam survei tersebut sebagai wujud kepedulian Anda pada masa depan umat manusia dan kehidupan dunia yang lebih baik.
Selasa, 16 April 2013
Sabtu, 13 April 2013
Golput Sebagai Gerakan Moral, Masihkah Relevan ?
Iklim demokrasi yang saat ini tengah dinikmati oleh bangsa Indonesia telah menyebabkan
pemilihan umum dilakukan hampir setiap waktu. Mulai dari Pemilihan presiden,
gubernur, wali kota, anggota dewan perwakilan tingkat pusat maupun daerah,
sampai pemilihan kepala desa sekalipun dilakukan melalui sistem pemungutan
suara, -one man, one vote.-
Namun, fenomena yang terjadi saat ini -khususnya setelah reformasi,-
menunjukkan rendahnya partisipas warga masyarakat dalam menggunakan hak
pilihnya. Alasan yang mengemuka bisa
jadi karena ketidakpedulian terhadap proses demokrasi atau mungkin
alasan-alasan ideologis. Akan tetapi,
semua warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya disebut golput,
-singkatan dari golongan putih,- sebuah sebutan yang pertama kali dicetuskan
oleh Arief Budiman menjelang pemilu 1971 sebagai bentuk boikot terhadap
pemerintahan orde baru.
Sebagian warga yang golput disebabkan karena faktor minimnya pengetahuan
tentang demokrasi dan pemahaman tentang pentingnya memilih sebagai sarana
kontrol terhadap pemerintahan, namun sebagian lainnya yang berasal dari
kalangan kelas menengah terdidik, biasanya golput karena alasan-alasan
prinsipil seperti kekecewaan terhadap pemimpin yang dihasilkan melalui proses
pemilu, menganggap tidak ada calon yang layak, sampai ada pula yang menganggap
sistem politik sebagai biang persoalan, karena itu pemilu dianggap sebagai
sebuah kesia-sia-an. Alasan lainnya, golput meningkat bisa jadi karena faktor
kejenuhan masyarakat, disebabkan pada era reformasi ini pemilu lebih sering
dilakukan ketimbang era orde baru.
Akan tetapi, sebagian masyarakat masih menganggap golput sebagai gerakan
moral yang menjadi sarana perjuangan untuk mendobrak kebobrokan pemerintahan
yang selama ini berjalan. Menjelang pemilu, biasanya ada segelintir elemen
masyarakat, baik yang tergabung melalui suatu lembaga maupun secara individual yang
mengkampanyekan isu golput sebagai boikot terhadap penyelenggara negara yang
dianggap khianat terhadap amanat rakyat. Lantas, masih patutkah golput dianggap
sebagai gerakan moral di alam demokrasi saat ini ? Bukankah keterwakilan rakyat
pada sistem politik yang ada telah nyata-nyata menjadi penentu arah kebijakan
pemerintahan ?
Menilik sejarahnya, golput yang dicetuskan oleh Arief Budiman pada 1971
memiliki alasan yang kuat. Sebagai salah seorang aktivis pendorong perubahan
yang juga turut andil mendukung orde baru, Arief melihat pemerintahan orba
mulai keluar dari jalurnya. Arief yang awalnya mendukung orba karena ingin
menegakkan demokrasi di Indonesia justru dikecewakan dengan sistem politik di
bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto yang mencoba melanggengkan kekuasaan dan
dominasinya melalui militer. Meskipun rezim orba mengadakan pemilihan umum,
akan tetapi dominasi kekuasaan yang dikendalikan oleh militer dan golkar ketika
itu tetap tidak mungkin dilawan. Akibatnya, sistem cenderung totaliter dan
minim kontrol terhadap kekuasaan. Melihat tidak ada cara lain untuk melawan,
Arief dan sejumlah rekannya mengadakan kampanye golput.
Yang pasti, gerakan golput sejak awal dicanangkannya tidak pernah bermaksud
untuk meraih suatu justifikasi politik yang hendak meng-ilegitimasi-kan
pemerintahan hasil pemilu. Sejak awal gerakan ini sadar, bahwa tidak ada
pengaruh apapun yang bisa dicapai dengan aksi golput. Sebab, pemerintahan hasil
pemilu tetap tak kehilangan kekuasaannya sedikit pun, walau rakyat yang
memilihnya berjumlah lebih sedikit ketimbang yang tidak memilihnya. Karena itu
gerakan ini hanya bersifat moral yang hendak memberikan pesan kepada penguasa
kala itu, bahwa negara di bawah sistem politik autokrasi yang penuh dengan
pemasungan kebebasan sipil dan pembungkaman aspirasi rakyat telah membuat
rakyat muak dan tidak lagi percaya.
Akan tetapi jika dikaitkan dengan konteks hari ini, gerakan golput sudah
tidak memiliki alasan apapun untuk dibenarkan sebagai sebuah gerakan moral.
Mengapa ? Tentu saja karena sistem otoritarian sudah lama tidak lagi eksis di
negeri ini. Dalam konteks hari ini, kebobrokan pemimpin-pemimpin yang
dihasilkan melalui sistem politik adalah juga merupakan kesalahan rakyat yang
memilihnya. Persoalannya, tidaklah mungkin kita menggerakkan orang-orang untuk
golput sementara para pemimpin korup yang berkuasa hari ini hanya mungkin kita
jungkilkan melalui proses pemilu.
Jika kita hendak mengganti orang-orang yang kita tahu selama ini menjadi
persoalan pada bangsa ini, maka sudah sepatutnya secara moral kita ikut
berpartisipasi dalam sistem yang ada dan ikut mengontrol mereka-mereka yang
duduk di lembaga legislatif dan eksekutif. Golput, hanya akan membuat kita teralienasi
dalam proses pengambilan kebijakan, serta tak memberi solusi apapun bagi bangsa
ini. Jika kita melihat persoalan ada pada partai politik yang hari ini mewarnai
kontestasi pemilu, maka kita juga ikut bertanggungjawab untuk mengontrol dan
memperbaiki mereka, bukan justru memboikot dan menuntut pembubaran mereka.
Sebab, partai politik merupakan instrumen yang penting untuk menjaring pemimpin
dalam sistem negara yang demokratis, dan pada dasarnya parpol adalah milik
publik, khususnya konstituen yang memilihnya. Jika boleh dianalogikan, partai
hanyalah kendaraan yang ditumpangi oleh manusia, jika kita menilai sopir yang
membawanya melaju ke arah yang keliru patutkah mobilnya juga ikut disalahkan ?
Ingat, sistem demokrasi adalah satu-satunya sistem yang memberikan ruang bagi
koreksi, termasuk kepada sistem itu sendiri.
Sehingga tidaklah berlebihan, jika saya mengatakan bahwa mereka yang
mengkampanyekan boikot pemilu dan pembubaran parpol adalah mereka yang suka
cara berpikir sederhana (simple minded)
tanpa melihat persoalan secara lebih luas dan menilai sesuatu dengan cara yang lebih
bijak. Karena itu, sebagai sebuah gerakan moral, dalam konteks demokrasi hari
ini, golput tidaklah lagi relevan. Jika kita merasa ada yang keliru, maka kita
harus bergerak untuk memperbaikinya, bukan justru menjadi penonton yang hanya
siap mempermasalahkan keadaan, tapi tidak memiliki andil apapun dalam
menyelesaikan persoalan.
Optimisme !
Pic: http://www.google.com/ |
Alkisah, suatu
ketika hiduplah suatu bangsa yang bernama Indonesia. Tuhan menakdirkannya hidup
di wilayah kepulauan yang dikelilingi lautan luas, alamnya subur nan indah, dipenuhi
dengan sumber kekayaan yang tak terhingga, bahkan konon tongkat kayu dan batu sekalipun
bisa menjadi tanaman. Masyarakatnya majemuk beraneka ragam, tetapi hidup
berdampingan dalam kebhinekaan, saling gotong-royong dalam kebersamaan, saling
hormat-menghormati dalam perbedaan. Indonesia adalah sepotong surga yang Tuhan
ciptakan di atas permukaan bumi untuk menunjukkan kuasa-Nya.
Diantara
rakyatnya banyak yang bertanya-tanya, mengapa Indonesia tidak bisa menjadi
negara yang maju ? Padahal seluruh prasyarat menjadi negara adikuasa ada pada
negeri ini. Selain sumber kekayaan alamnya yang luar biasa, Indonesia juga
memiliki potensi sumber daya manusia yang besar, baik dari sisi kuantitas,
maupun kualitas. Berulang kali, putra-putri negeri tersebut mendapatkan
penghargaan bergengsi di dunia dalam berbagai bidang, dipuji karena keahlian
dan kecerdasannya.
Diantara rakyat
negeri itu, ada yang memilih untuk menyalahkan pemerintahnya, karena dianggap
gagal mengurus negeri. Sebagian justru menyalahkan masyarakatnya, karena dianggap
memiliki budaya tidak disiplin dan kerap berpikir dengan cara yang instan.
Sebagian lagi hanya diam karena lebih sibuk mengejar urusan pribadi. Sedangkan,
sebagian lainnya terus bekerja meskipun sadar kondisi bangsa belum sesuai
dengan harapan.
Yang tidak banyak
disadari oleh sebagian besar rakyat negeri tersebut adalah bahwa mereka hidup
di zaman dengan kondisi yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Sepatutnya
mereka bersyukur dengan apa yang telah mereka capai, sembari terus berusaha
mewujudkan cita-cita awal dari generasi terdahulu. Mengapa mereka tidak sadar, bagaimana
dahulu para pejuang mereka yang bersusah
payah merebut kemerdekaan dengan cucuran keringat, air mata, dan darah ? Betapa
sedihnya mereka jika tahu generasi anak-cucu yang mereka perjuangkan untuk
hidup dalam kondisi aman dari ancaman penindasan justru berkeluh-kesah dengan
kondisinya hari ini.
Pic: http://www.google.com/ |
Bagaikan sebuah
kapal tanker yang hendak berbelok, diperlukan lintasan yang sangat panjang
sampai arahnya sesuai dengan tujuan. Akan tetapi dalam prosesnya, orang-orang
yang berada di dalamnya bertanya-tanya kepada sang nahkoda, sebenarnya kapal
ini sedang berbelok atau tidak ? Sama halnya dengan sebuah bangsa besar yang
bernama Indonesia, diperlukan waktu yang lama dan kesabaran yang tak henti-henti
untuk sampai pada akhir dari tujuan. Akan tetapi dalam prosesnya, orang-orang
yang berada di dalamnya bertanya-tanya, apa benar bangsa ini bergerak maju
sesuai dengan arah tujuannya ?
Semua
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses menuju tujuan adalah hal yang
wajar dan naluriah, karena orang-orang mulai kehabisan kesabaran sedangkan
tujuan seolah masih sangat jauh dari jangkauan. Tetapi tanpa disadari kemampuan
manusia beradaptasi dengan kondisi jauh lebih cepat dari perubahan itu sendiri,
akibatnya, bangsa Indonesia tidak sadar bahwa sesungguhnya mereka sedang
bergerak maju. Yang mereka perlukan hanyalah kesabaran, keteguhan hati, dan
optimisme.
Indonesia, ketahuilah
bahwa Tuhan yang Maha Adil tidak meninggalkan bangsamu luput dari
perhatian-Nya. Ia hanya menguji kesabaranmu dan usahamu, hingga akhirnya Ia
berkehendak untuk menjadikanmu sebagai bangsa yang besar, kelak saat tiba
masanya.
Pic: http://www.google.com/ |
Langganan:
Postingan (Atom)