Sabtu, 13 April 2013

Golput Sebagai Gerakan Moral, Masihkah Relevan ?



Iklim demokrasi yang saat ini tengah dinikmati oleh bangsa Indonesia telah menyebabkan pemilihan umum dilakukan hampir setiap waktu. Mulai dari Pemilihan presiden, gubernur, wali kota, anggota dewan perwakilan tingkat pusat maupun daerah, sampai pemilihan kepala desa sekalipun dilakukan melalui sistem pemungutan suara, -one man, one vote.-


Namun, fenomena yang terjadi saat ini -khususnya setelah reformasi,- menunjukkan rendahnya partisipas warga masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya.  Alasan yang mengemuka bisa jadi karena ketidakpedulian terhadap proses demokrasi atau mungkin alasan-alasan ideologis.  Akan tetapi, semua warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya disebut golput, -singkatan dari golongan putih,- sebuah sebutan yang pertama kali dicetuskan oleh Arief Budiman menjelang pemilu 1971 sebagai bentuk boikot terhadap pemerintahan orde baru.

Sebagian warga yang golput disebabkan karena faktor minimnya pengetahuan tentang demokrasi dan pemahaman tentang pentingnya memilih sebagai sarana kontrol terhadap pemerintahan, namun sebagian lainnya yang berasal dari kalangan kelas menengah terdidik, biasanya golput karena alasan-alasan prinsipil seperti kekecewaan terhadap pemimpin yang dihasilkan melalui proses pemilu, menganggap tidak ada calon yang layak, sampai ada pula yang menganggap sistem politik sebagai biang persoalan, karena itu pemilu dianggap sebagai sebuah kesia-sia-an. Alasan lainnya, golput meningkat bisa jadi karena faktor kejenuhan masyarakat, disebabkan pada era reformasi ini pemilu lebih sering dilakukan ketimbang era orde baru.

Akan tetapi, sebagian masyarakat masih menganggap golput sebagai gerakan moral yang menjadi sarana perjuangan untuk mendobrak kebobrokan pemerintahan yang selama ini berjalan. Menjelang pemilu, biasanya ada segelintir elemen masyarakat, baik yang tergabung melalui suatu lembaga maupun secara individual yang mengkampanyekan isu golput sebagai boikot terhadap penyelenggara negara yang dianggap khianat terhadap amanat rakyat. Lantas, masih patutkah golput dianggap sebagai gerakan moral di alam demokrasi saat ini ? Bukankah keterwakilan rakyat pada sistem politik yang ada telah nyata-nyata menjadi penentu arah kebijakan pemerintahan ?

Menilik sejarahnya, golput yang dicetuskan oleh Arief Budiman pada 1971 memiliki alasan yang kuat. Sebagai salah seorang aktivis pendorong perubahan yang juga turut andil mendukung orde baru, Arief melihat pemerintahan orba mulai keluar dari jalurnya. Arief yang awalnya mendukung orba karena ingin menegakkan demokrasi di Indonesia justru dikecewakan dengan sistem politik di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto yang mencoba melanggengkan kekuasaan dan dominasinya melalui militer. Meskipun rezim orba mengadakan pemilihan umum, akan tetapi dominasi kekuasaan yang dikendalikan oleh militer dan golkar ketika itu tetap tidak mungkin dilawan. Akibatnya, sistem cenderung totaliter dan minim kontrol terhadap kekuasaan. Melihat tidak ada cara lain untuk melawan, Arief dan sejumlah rekannya mengadakan kampanye golput.

Yang pasti, gerakan golput sejak awal dicanangkannya tidak pernah bermaksud untuk meraih suatu justifikasi politik yang hendak meng-ilegitimasi-kan pemerintahan hasil pemilu. Sejak awal gerakan ini sadar, bahwa tidak ada pengaruh apapun yang bisa dicapai dengan aksi golput. Sebab, pemerintahan hasil pemilu tetap tak kehilangan kekuasaannya sedikit pun, walau rakyat yang memilihnya berjumlah lebih sedikit ketimbang yang tidak memilihnya. Karena itu gerakan ini hanya bersifat moral yang hendak memberikan pesan kepada penguasa kala itu, bahwa negara di bawah sistem politik autokrasi yang penuh dengan pemasungan kebebasan sipil dan pembungkaman aspirasi rakyat telah membuat rakyat muak dan tidak lagi percaya.

Akan tetapi jika dikaitkan dengan konteks hari ini, gerakan golput sudah tidak memiliki alasan apapun untuk dibenarkan sebagai sebuah gerakan moral. Mengapa ? Tentu saja karena sistem otoritarian sudah lama tidak lagi eksis di negeri ini. Dalam konteks hari ini, kebobrokan pemimpin-pemimpin yang dihasilkan melalui sistem politik adalah juga merupakan kesalahan rakyat yang memilihnya. Persoalannya, tidaklah mungkin kita menggerakkan orang-orang untuk golput sementara para pemimpin korup yang berkuasa hari ini hanya mungkin kita jungkilkan melalui proses pemilu.

Jika kita hendak mengganti orang-orang yang kita tahu selama ini menjadi persoalan pada bangsa ini, maka sudah sepatutnya secara moral kita ikut berpartisipasi dalam sistem yang ada dan ikut mengontrol mereka-mereka yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif. Golput, hanya akan membuat kita teralienasi dalam proses pengambilan kebijakan, serta tak memberi solusi apapun bagi bangsa ini. Jika kita melihat persoalan ada pada partai politik yang hari ini mewarnai kontestasi pemilu, maka kita juga ikut bertanggungjawab untuk mengontrol dan memperbaiki mereka, bukan justru memboikot dan menuntut pembubaran mereka. Sebab, partai politik merupakan instrumen yang penting untuk menjaring pemimpin dalam sistem negara yang demokratis, dan pada dasarnya parpol adalah milik publik, khususnya konstituen yang memilihnya. Jika boleh dianalogikan, partai hanyalah kendaraan yang ditumpangi oleh manusia, jika kita menilai sopir yang membawanya melaju ke arah yang keliru patutkah mobilnya juga ikut disalahkan ? Ingat, sistem demokrasi adalah satu-satunya sistem yang memberikan ruang bagi koreksi, termasuk kepada sistem itu sendiri.

Sehingga tidaklah berlebihan, jika saya mengatakan bahwa mereka yang mengkampanyekan boikot pemilu dan pembubaran parpol adalah mereka yang suka cara berpikir sederhana (simple minded) tanpa melihat persoalan secara lebih luas dan menilai sesuatu dengan cara yang lebih bijak. Karena itu, sebagai sebuah gerakan moral, dalam konteks demokrasi hari ini, golput tidaklah lagi relevan. Jika kita merasa ada yang keliru, maka kita harus bergerak untuk memperbaikinya, bukan justru menjadi penonton yang hanya siap mempermasalahkan keadaan, tapi tidak memiliki andil apapun dalam menyelesaikan persoalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post