Kamis, 22 Desember 2011
PERINGATAN, buat kamu yang nganggep ekskul itu ga penting !
Kehidupan yang serba mudah dan cepat era teknologi seperti saat ini telah menciptakan generasi serba instan dan individualistis. Instan karena kecendrungan untuk mendapatkan hasil yang cepat dan mudah untuk segala hal sangat diprioritaskan, dan individualistis karena demam teknologi smart phone dan gadget di kalangan generasi muda bangsa ini justru menutup mata dan telinga mereka terhadap persoalan sekitar dan lingkungannya. Kebanyakan dari mereka hanya memikirkan segala hal yang terkait dengan diri atau pun kelompok bermainnya saja, sehingga persoalan lain di luar hal itu diberi label “ga penting.”
Yang menjadi ironi, kebijakan pendidikan di negeri ini justru membentuk mental siswa-siswi yang berorientasi pada nilai dan pencapaian prestasi akademik semata. Ambang batas nilai kelulusan Ujian Nasional yang terus meningkat dari tahun ke tahun membuat sebagian besar siswa “ketakutan” sehingga segala upaya pun ditempuh, meski terkadang harus melanggar aturan dan tak jarang menggadaikan harga diri. Akibatnya, para orang tua yang menafkahkan biaya pendidikan putra-putrinya pun dibentuk pemikirannya untuk menggapai segala upaya demi kelulusan sang anak. Masih lekat dalam ingatan kita kejadian yang menimpa siami, Ibu seorang siswa di Surabaya yang justru dicemooh oleh warga dan diusir dari lingkungannya karena menyuarakan kejujuran.
Ada kecendrungan di kalangan siswa bahwa mencapai nilai yang baik dan bisa masuk ke perguruan tinggi ternama dianggap menjadi acuan pencapaian yang sangat sakral dan dianggap sangat penting bagi masa depan serta menjadi satu-satunya penjamin kesuksesan dalam hidup. Sehingga, munculah sikap apatis terhadap persoalan diluar diri di kalangan siswa. Sikap “keakuan” ini merupakan gejala paling dominan untuk menjelaskan minimnya kaderisasi ekskul dan organisasi di sekolah hari ini.
Sesungguhnya ada beberapa kekeliruan berpikir yang hendak diluruskan terkait anggapan umum di kalangan siswa saat ini tentang kesuksesan dan masa depan. Memang benar diakui, pendidikan akademik yang menitikberatkan pada aspek kognitif (yakni aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir) merupakan salah satu kunci kesuksesan seseorang, tetapi (yang harus dicatat) bukanlah yang paling menentukan. Jika pencapaian materi dianggap sebagai indikator kesuksesan seseorang, faktanya ada banyak orang kaya di dunia yang tidak sarjana. Dikatakan oleh banyak ahli, kreativitas berpikir menjadi acuan bagi kemajuan seseorang di bidang bisnis, dan hal tersebut tidak harus dikaitkan dengan latar belakang pendidikan.
Anggapan yang keliru lainnya adalah tentang kaitan antara perguruan tinggi dan dunia kerja (karir). Banyak siswa yang menganggap lulusan perguruan tinggi sudah pasti akan memperoleh karir yang mapan dan sekaligus berarti upah yang tinggi. Ketahuilah, jika kita hidup di era 20 atau 30 tahun saat orang tua kita bersekolah dulu mungkin anggapan tersebut memang benar. Akan tetapi, era globalisasi yang menuntut kualitas dan kapabilitas hari ini tidak berkata demikian, kondisi saat ini mengharuskan persaingan yang sangat ketat. Ada banyak sarjana di republik ini yang harus menanggalkan ijazahnya (yang mungkin lulus dengan predikat “cumlaude”) setelah kalah dalam “kompetisi.” Hal ini terjadi karena pertumbuhan angkatan kerja setiap tahun selalu lebih besar ketimbang kebutuhan tenaga kerja (lowongan kerja). Pilihan studi juga terkadang tidak selalu menentukan bidang karir seseorang. Semua tergantung dari rezeki dan kemampuan memanfaatkan setiap peluang.
Ada orang bijak yang mengatakan, “pilihan pada masa mudamu akan menentukan kehidupan di masa tua mu.” Kalau begitu, artinya pilihan-pilihan aktivitas akademik dan pengembangan diri yang ditawarkan kepada kita pada masa sekolah menjadi sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan kita ketika beranjak dewasa atau ketika meniti dunia karir. Karena itu berikut disampaikan beberapa pandangan yang mudah-mudahan bisa membuka cakrawala berpikir adik-adik yang masih bersekolah, agar kelak tidak salah melangkah ataupun menyesal di kemudian hari.
Pertama, tetapkan dulu cita-citamu. Mau jadi apa kamu di masa depan? Jika kita sejak awal telah menetapkan cita-cita, maka kelak akan memudahkan kita dalam menentukan program studi (pada saat SMA maupun saat mendaftar di perguruan tinggi). Pilihan-pilihan kita dalam mengembangkan diri pun akan disesuaikan dengan cita-cita tersebut. Maksudnya, segala aktivitas yang kira-kira akan berkaitan atau menunjang studi yang kita minati. Upayakan agar cita-cita kita tidak berubah di tengah jalan, karena itu saat menentukan cita-cita hendaknya menimbang terlebih dahulu kemampuan dan bakat kita, jangan terlalu ambisius atau malah sebaliknya, terlalu pesimistis.
Kemudian, buang jauh-jauh anggapan bahwa lulus perguruan tinggi atau program studi favorit adalah satu-satunya sarana menuju kesuksesan. Anggapan itu justru akan menimbulkan pemahaman bahwa perjuangan telah usai ketika telah memperoleh kursi di perguruan tinggi, seolah-olah pintu menuju kesuksesan telah terbuka lebar di depan mata. Ingat! Sistem pendidikan kita masih berorientasi aspek kognitif, kamu bisa saja lulus di PT terkemuka tapi gagal dalam dunia kerja. Kenapa? Karena dunia karir tidak lagi mengutamakan aspek kognitif melainkan ketekunan, kreativitas, sikap dan tingkah laku. Karenanya, mari kita anggap saja perguruan tinggi sebagai kendaraan menuju kesuksesan, tetapi bukan satu-satunya sarana. Perjuangan pun belum usai, meski telah mendapatkan titel mahasiswa.
Sebagian besar ilmu yang diperoleh semasa menempuh sekolah dasar hingga menengah atas nyatanya tidak banyak dipergunakan dalam kehidupan. Ilmu yang diterima semasa sekolah dasar hanya sebagai pengantar untuk memahami pelajaran semasa sekolah menengah, begitu pun seterusnya sampai masuk ke jenjang perguruan tinggi. Pada akhirnya kita hanya memilih satu bidang studi, fokus mempelajari dan mendalaminya sampai mendapatkan gelar sarjana. Ketika lulus kita telah berusia 23 tahun. Taruhlah usia 25 tahun ketika saatnya kita mulai meniti karir (2 tahun awal pasca lulus perguruan tinggi biasanya diisi untuk mencari pengalaman kerja). Kalau usia pensiun rata-rata saat 55 tahun, berarti usia produktif kita untuk berkarya hanya 30 tahun saja.
Dari 30 tahun bekerja, dikurangi hari libur dan cuti taruhlah berkurang 2 tahun, jadi hanya 28 tahun saja waktu kita untuk bekerja. Lalu saat bekerja apakah setiap saat kita terus bekerja? Tentu tidak, pastilah ada potongan untuk istirahat dan makan siang minimal 1 jam dari setiap 7 jam kerja (rata-rata) per hari. Lalu, dari total keseluruhan waktu produktif tersebut apakah semua aspek pekerjaan kita itu membutuhkan ilmu yang kita peroleh semasa menempuh pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi? Jawabannya jelas tidak. Jika kamu menempuh karir di bidang jasa (baik itu finansial, kesehatan, hukum, dll), ilmu dasar yang kamu peroleh di perguruan tinggi akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kemampuan untuk memahami dan membangun kepercayaan kepada klien. Jika kamu bekerja di sebuah korporasi atau institusi yang memiliki jenjang rekrutmen, kecerdasan dan keterampilan yang kamu miliki tidak berarti sama sekali jika kamu tidak memiliki kemampuan lobi untuk mendekati atasan. Bahkan, jika kamu lulusan sekolah bisnis dan punya banyak warisan sekalipun, untuk memimpin sebuah perusahaan yang kamu dirikan, kemampuan untuk memimpin adalah syarat mutlak, dan hal tersebut tidak dipelajari di ruang kelas.
Lalu dimanakah kemampuan-kemampuan itu bisa kita raih? jawabannya ada pada ekskul dan organisasi sekolah. Mengapa? Karena dengan berorganisasi, seluruh pengalaman yang kelak akan dihadapi semasa meniti karir akan dirasakan lebih awal saat berorganisasi. Ketika kita telah terbiasa dengan iklim berorganisasi, maka kelak setelah tiba waktunya untuk memasuki dunia kerja, kita tak lagi kesulitan. Tak hanya itu, berbeda dengan keterbatasan penerapan ilmu yang kita dapatkan saat menempuh pendidikan sekolah maupun perguruan tinggi, pengetahuan dan pengalaman berorganisasi sebagian besar dipergunakan semasa menjalani hidup. Tidak percaya?
Katakanlah kelak nanti kalian akan menikah dan membangun sebuah keluarga. Sadarkah kalian bahwa keluarga adalah sebuah unit organisasi? Di dalamnya ada sistem pembagian kerja, ada mekanisme pemberian penghargaan atas tercapainya sebuah prestasi atau hukuman ketika terjadi pelanggaran atas aturan yang telah disepakati. Di dalamya juga ada sebuah musyawarah (biasanya berlangsung saat makan malam di meja makan) untuk menentukan berbagai hal, mulai dari distribusi anggaran untuk berbagai keperluan sampai hal-hal sederhana yang selalu mengisi hangatnya kehidupan keluarga. Sadarkah kalian bahwa semua itu juga berlangsung pada sebuah organisasi? Sebaliknya, kita tidak mungkin mendiskusikan kemungkinan diterapkannya hukum archimedes pada teknologi kapal selam terbaru, kemungkinan diciptakannya mesin waktu dengan teori relativitas, atau apakah pertumbuhan ekonomi berpengaruh pada pembukaan lapangan pekerjaan baru saat makan bersama dengan keluarga. Karena semua diskusi itu hanya memungkinkan untuk berlangsung di ruang sempit, yang disebut pekerjaan.
Belum lagi ketika kalian akan hidup bertetangga dalam sebuah lingkungan, apakah kalian pikir bisa terlepas dari pengaruh organisasi? Bahkan satuan lingkungan terkecil juga merupakan organisasi. Intinya, semua aspek kehidupan kita tidak akan pernah lepas dari yang namanya organisasi dan oleh karena itu alangkah kasihannya kalian yang masih menganggap berpartisipasi di ekskul dan organisasi sekolah sebagai suatu hal yang ga penting atau ga guna. Memang, hari ini belum kelihatan dampak berorganisasi itu, tapi kelak 10 tahun yang akan datang jangan heran kalau rekan sekelas kamu yang dulu sibuknya bukan main mengurus organisasinya akan menjadi para pemimpin di perusahaan-perusahaan besar atau mendapatkan posisi strategis di pemerintahan. Masi ga percaya juga ?
Minggu, 14 Agustus 2011
Kemerdekaan, Jalan Menuju Tuhan
Dahulu penjajahan dilakukan dengan cara fisik, dihadapan sebuah senapan panjang nenek moyang kita dipaksa untuk kehilangan haknya dalam berkehendak bebas karena dirampas oleh keserakahan penjajah. Pemaksaan adalah kata kunci dari penjajahan, setiap kehendak yang dilakukan tanpa didasari pada keinginan individual berarti dilakukan dalam kondisi terjajah. Karena itu kebebasan berarti melakukan sesuatu tanpa adanya pemaksaan.
Namun apakah kekuatan otot satu-satunya alat pemaksa untuk merampas kemerdekaan seorang anak manusia? Tidak juga, karena ternyata penjajahan juga dilakukan melalui ide atau pemikiran dan inilah bentuk penjajahan yang paling berbahaya. ketika seseorang dipaksa untuk mengira pensil sebagai buku dan buku sebagai pensil berarti ia telah terjajah, namun ia tetap mengiranya begitu meski penjajahnya tidak sedang menodongkan pistol di kepalanya. Artinya, penjajahan ide menimbulkan efek perasaan ikhlas seseorang untuk bertindak atau berpikir sesuai dengan kehendak penjajahnya.
Dahulu Marx menentang suatu ide yang disebut kapitalisme, karena di dalamnya terdapat penjajahan dalam bentuk pemikiran. Kaum buruh yang bekerja pada majikannya pada masa awal kebangkitan industri di Eropa tidak pernah menyadari bahwa mereka kehilangan kehendak bebas atas dirinya sendiri karena pemilik modal, yakni kaum borjuasi kapitalis telah meletakkan sebuah konsep pembagian surplus value di atas sebuah sistem sosial feodal yang telah lama mengakar. Akibatnya, kaum proletar bekerja mati-matian untuk sebuah hasil yang tak mereka nikmati, namun merasa bahwa upah yang diberikan oleh majikan sudah layak bagi kehidupan mereka. Dijajah tapi merasa tidak dijajah, itulah poin utama yang menjadi keunggulan penjajahan ide.
Ketika suatu sistem tatanan sosial, hukum adat, hukum negara, atau hukum agama sekalipun, manakala ia memiliki sifat hegemoni terhadap tiap individu yang bernaung di dalamnya. Maka sudah bisa dipastikan bahwa sistem tersebut juga merupakan penjajahan dalam bentuk ide yang sistemik. Ketika suatu tradisi masyarakat memaksakan suatu kehendak yang bertentangan dengan keinginan personal maka hal tersebut berarti hak kebebasan berkehendak individu telah ditiadakan. Padahal kemerdekaan individu adalah syarat mutlak menuju kebenaran yang hakiki.
Tanpa adanya kebebasan berkehendak, setiap orang akan melakukan suatu tindakan yang tidak dapat ditanggungjawabinya, begitulah bunyi salah satu doktrin dalam ranah hukum. Penjajahan yang membelenggu kebebasan tidak pernah membiarkan tiap individu dalam statusnya yang mandiri. Oleh karena itu, tidak ada konsekuensi hukuman bagi individu yang melakukan suatu tindakan tanpa didasari kehendak bebas.
Aku sendiri percaya bahwa Tuhan telah memberikan setiap manusia yang terlahir ke dunia ini melalui kuasanya, suatu hak kebebasan. Seperti halnya Jhon Locke, aku percaya bahwa kebebasan itu tak boleh dirampas dari dan oleh siapapun (makhluk). Bagiku, kemerdekaan berpikir dan bertindak adalah jalan menuju kebenaran, jalan menuju-Nya. Bukankah surga dan neraka diciptakan sebagai konsekuensi atas tindakan dan perilaku manusia di dunia? Tentu saja tindakan dan perilaku yang dimaksud adalah yang didasari pada kehendak bebas manusia. Mustahil kita diciptakan untuk suatu skenario tindakan yang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta, jika begitu adanya maka surga dan neraka tidak akan ada lagi artinya.
Kita terlahir sebagai manusia bebas yang berkehendak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Doktrin agama, sistem tatanan sosial, hukum negara, dan hati nurani bertugas sebagai penuntunnya. Tugas kita adalah berpikir dengan rasional dan mengikuti penuntun yang ada lalu memilih jalan yang menurut kita benar, barulah disini Tuhan memiliki alasan untuk menghukum atau mengganjar perbuatan kita di hari penghakiman.
Pertanyaannya, apakah dengan kebebasan yang kita miliki di dunia, Tuhan tak memiliki kuasa atas diri kita? Tidak! Aku mengatakan bahwa Tuhan memberikan kita kebebasan, bukan berarti Tuhan kehilangan kuasa atas diri kita. Karena hakikatnya, kata memberikan bermakna superlatif yang tingkatnya lebih tinggi ketimbang kata diberi. Aku adalah orang yang tetap berkeyakinan bahwa Ia adalah Tuhan yang berkehendak dan aktif, memiliki kuasa dan Maha Tahu, bukan seperti tuhannya orang “intelligence design,” bukan pula seperti tuhannya orang agnostic yang hanya menciptakan dunia dan seiisinya lalu membiarkan manusia berkuasa penuh atas kehendaknya sendiri yang berarti menempatkan tuhan hanya sebagai pencipta yang tak memiliki kuasa atas ciptaannya.
Bagiku Ia adalah Tuhan Maha Kuasa. Bahkan Ia menciptakan buku yang menuliskan sejarah perjalanan kehidupan dari awal sampai akhir. Ia Maha Tahu, seorang hamba akan masuk ke syurga atau neraka-Nya. Tapi Ia memberikan manusia jalan untuk dipilih, yang berarti manusia diberikannya hak kebebasan berkehendak atas pilihan-pilihannya di dunia. Sehingga alasan untuk mengikuti apa yang tertulis di buku sejarah kehidupan memiliki alasan yang pantas untuk terpenuhi.
Selasa, 26 Juli 2011
Di Tengah Kemelut Konflik
Para penikmat sinetron dan film drama pun sepertinya mulai beralih dari tontonan konvensional ke drama politik yang sepertinya lebih asyik. Production house beberapa sinetron pun merugi karena tayangan mereka mengalami penurunan rating. Para artis dan bintang sinetron pun mulai komplain karena job mereka berkurang akibat munculnya para selebritis baru yang mestinya tidak menyerobot lahan mengais nafkah di jagat selebritas. Begitulah kegaduhan yang terjadi belakangan di seantero negeri.
Kehidupanku sendiri belakangan ini juga tak jauh dari hal-hal yang menarik. Tentu saja selain ujian-ujian yang menyebalkan, dan kondisi sakit yang kuderita beberapa waktu yang lalu. Aku sendiri, menjadi seorang penonton di tengah sebuah situasi konflik internal yang entah bagaimana belum pernah terjadi sebelumnya dan kini menjadi semacam serial TV bersambung yang menyuguhkan kejutan-kejutan baru pada setiap episodenya.
Tidak terlalu jelas memang kenapa situasi ini terjadi. Meski sejak dulu aku sudah menyadari, ada sebuah gunung merapi aktif yang terus mengancam akan meletus, tapi aku tak menyangka letusannya akan sebesar ini. Apa yang ku maksud dengan situasi di sini adalah kemelut yang tengah terjadi di organisasi Islam dan himpunan alumninya pada almamater SMA-ku.
Tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar tentang konflik yang terjadi. Yang jelas, kelihatannya api masih belum bisa padam dan mungkin akan semakin membesar di sana. Meski aku menyadari konflik adalah suatu jalan menuju perubahan, tapi sejujurnya aku tak menyukai prosesnya yang begitu pelik dan beraroma sentimen.
Yang jelas posisiku saat ini tidak mendukung kedua kubu namun tidak juga bersikap netral. Lalu kepada siapa aku memihak? … Tentu saja pada kebenaran. Terlalu muluk? Sebenarnya tidak juga. Ketika aku melihat ada ketimpangan pada organisasi dan orang-orang mulai meng-kritik ketimpangan tersebut, maka aku akan mendukung usaha mereka. Tetapi ketika aku melihat nilai-nilai kesopanan dan nilai kemanusiaan mulai tercerabut pada diri mereka, maka aku akan berlepas diri dari mereka. Bagiku hitam tetaplah hitam, putih tetaplah putih, yang salah adalah salah dan yang benar adalah benar.
Apapun yang terjadi dan konsekuensi apapun yang akan kuterima dikemudian hari, aku akan tetap memegang prinsipku ini dalam situasi sepelik apapun yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang.
Senin, 25 Juli 2011
Kritik yang Bagaimana?
Sikap kritis itu baik bahkan diperlukan, perannya adalah sebagai dinamisatoris, bak energi yang menggerakkan roda kehidupan. Sikap kritis terhadap suatu kondisi yang mengusik batin atau kebijakan yang bertentangan dengan rasa keadilan barangkali kerap mewarnai perjalanan sejarah peradaban. Berkat sikap kritis itu pula, sudah berulang kali koreksi terhadap kekeliruan zaman dilakukan, dan berulang kali pula manusia mengalami revolusi sosial. Selain itu, berkat kritik bahkan hingga saat ini pun kita masih belum usai mengakhiri perjalanan tanpa henti menuju dunia yang terus dan terus membaik.
Kepada orang muda yang ditubuhnya mengalir darah perjuangan, yang tanpa henti mencari jawaban atas hakikat dirinya, berikut adalah pesan tentang sikap kritis bagaimana yang harusnya dibudayakan, semua dilakukan agar tetap bergerak roda kehidupan dan terus menyala cahaya perubahan…
Bangunlah kritik yang cerdas!
Kritik yang dilontarkan sesungguhnya dibangun atas kesimpulan deduksi yang terdiri dari premis-premis minor yang sifatnya khusus sehingga menghasilkan konklusi mayor yang sifatnya umum. Nah, jika salah satu premis yang menyokong kesimpulan akhir kritik Anda memiliki kecacatan fakta dan atau logika, maka runtuhlah seluruh konstruksi kritik yang Anda bangun. Untuk itu, sebelum Anda menyampaikan kritik atas suatu kondisi tertentu yang tidak Anda sukai atau menurut opini Anda tak semestinya terjadi maka pastikanlah: pertama, Anda telah mendapatkan fakta-fakta yang akurat, proporsional, dan telah diverifikasi. Saya tidak menyuruh Anda untuk menjadi objektif, karena hakikatnya setiap kritik hadir dari subjektifitas, tetapi saya mengajarkan Anda untuk membangun kritik beradasarkan premis minor yang benar, berangkat dari fakta-fakta yang benar, bukan isu, bukan asumsi, apalagi fitnah. Kedua, Anda harus membangun kesimpulan yang memiliki alur kognitif yang logis. Misal: jangan mengkritik kekalahan timnas dalam laga final kalau alasan yang menjadi dasar argumennya karena pakaian timnas membawa kesialan.*
Apabila kedua poin tersebut dijadikan acuan membangun kritik, maka Anda telah membangun kritik yang cerdas. Bukan kritik yang asbun, kritik yang tak berdasar, kritik yang hampa, kritik yang tak mungkin berujung pada perubahan.
*Akan lain cerita kalau dasar argumennya bisa dibuktikan secara logis. Pembuktian secara logis tidak harus memerlukan fakta empiris.
Bersikap jantan!
Ketika seseorang telah menyatakan suatu kritik, secara moral harusnya ia telah siap untuk dikonfrontir atau didebat oleh objek yang dikritik. Hal tersebut adalah sikap pejuang sejati, yang berani mengatakan dengan lantang, benar itu benar dan salah itu salah menurut yang ia pahami dan bahkan harus rela menanggung resiko atas kritiknya tersebut. Kalau kritik yang disampaikan benar, sudah pasti efek penerimaannya pada masyarakat luas akan semakin besar dan massif, oleh karenanya menjadi sarana yang sangat tepat jika ruang publik yang fair dijadikan sebagai ajang menyampaikan kritik.
Jika ruang publik dikendalikan oleh hegemoni pemilik status quo alias objek yang menerima kritik, dan ruang publik disensor sedemikian rupa sehingga kritik seolah dibendung, maka sudah selayaknya pembukaman tersebut dilawan karena telah men-dzalim-I hak-hak publik untuk bebas menyalurkan aspirasinya.
Karena itu, jantanlah dalam bersikap! Terimalah segala hasil secara fair! Pengkritik harus mau kritiknya dikonfrontir dan harus mau mengubah cara pandangnya setelah menerima sanggahan dan konfirmasi dari objek yang dikritik, harus mau menerima kebenaran** ketika argumentasi kritiknya telah diruntuhkan oleh sebab sanggahan yang dikeluarkan objek yang dikritik. Sedangkan objek yang dikritik harus mau dikritik! Jangan membendung arus aspirasi dengan meng-hegemoni ruang publik, karena sekuat apapun bendungan itu tak akan bisa melawan arus perlawanan. Ingat! Sejarah membuktikan demikian.
** Kebenaran yang dimaksud disini bukan kebenaran hakiki, ketika proses dialektis akhirnya menghasilkan kesimpulan yang bersifat sintesis maka untuk sementara ia menjadi kebenaran sampai disanggah oleh antithesis berikutnya.
Lawan pemikirannya bukan personalnya
Kita sedang membicarakan soal kritik. Kritik adalah ide, sebuah pemikiran. Kalau ada objek yang dikritik, sudah pasti juga bersifat ide, cara pandang, sikap, atau pemikiran. Karenanya mengungkapkan kritik secara verbal maupun oral terhadap objek yang dikritik, hendaknya ditujukan pada alamat yang benar, yaitu pemikirannya bukan personalnya. Anda bisa saja tetap bersahabat dan menjalin silaturahmi yang baik dengan orang yang Anda kritik, meski tak sejalan dengan pemikirannya. Tapi adalah sikap yang tidak bijak, kalau Anda membenci orang sekaligus pemikirannya.
Kritik bukan soal tendensi, bukan soal sentimen, bukan soal kebencian terhadap seseorang. Ini adalah lapangan ide, kontradiksi bipolar yang hanya terjadi di ruang hampa materil, meski peperangannya berlangsung lebih pelik ketimbang adu fisik dua kubu artileri yang saling berlawanan.
Karena itu seorang kritikus yang bermental pejuang sejati, tidak akan melibatkan dirinya lebih jauh ke dalam sikap sinis terhadap personal, dan tidak akan melibatkan dirinya lebih jauh ke dalam sikap egois dan melupkan lapangan kehidupan lain yang lebih utama dan lebih hakiki.
Konsistenlah !
Pertahankanlah argumen yang Anda miliki sedapat mungkin ketika kritik Anda dikonfrontir oleh objek yang Anda kritik. Kegigihan Anda dalam mempertahankannya adalah indikator kebenaran kritikan Anda. Jika, kekonsistenan alur kognitif argumen yang Anda pilih dalam kritik-kritik Anda tetap terpelihara, berdasarkan fakta dan data yang akurat, dan tidak ada tendensi apapun secara personal yang menjadi harapan Anda selain perubahan kondisi kearah yang lebih baik, maka perjuangan Anda pasti akan semakin massif dan mencerahkan, sehingga pada akhirnya perubahan itu terjadi.
Terakhir dan yang terpenting… Carilah kebenaran, bukan pembenaran!
Jumat, 20 Mei 2011
Politik? Ah, Sederhana Saja…
Ketika engkau mendapatkan uang Rp.5000 dari orang tuamu, kemudian mengalokasikannya untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan skala prioritas tertentu, sesungguhnya kau telah melakukan suatu proses yang hampir serupa dengan politik. Kenapa? Karena politik juga bebicara tentang distribusi nilai-nilai.
Memikirkan apakah kau merasa membeli minuman saat kau haus lebih prioritas ketimbang membayar hutang adalah tak ubahnya memikirkan apakah kau merasa lebih prioritas membangun jalan tol untuk pengembangan ekonomi ketimbang membayar cicilan hutang luar negeri. Dua-duanya sesungguhnya sama saja, yang membedakan hanyalah skalanya. Karena perbedaan skala inilah menyebabkan perbedaan istilah di antara kedua hal tersebut, dimana proses pertama hanya dinamakan manajemen diri, sedangkan yang kedua disebut proses politik.
Jika alokasi dan distribusi uang Rp. 5000 dari orang tuamu tadi hanya menyangkut hajat kehidupanmu seorang, dimana mungkin kau memakainya untuk beli eskrim, makan donat, main game, atau membeli pulpen, maka alokasi dan distribusi anggaran dalam proses politik menyangkut hajat hidup banyak orang, dimana pembelian pesawat tempur, pembangunan rumah sakit, perakitan roket, atau pembuatan rambu lalu lintas diperhitungkan di sana.
Kenapa politik selalu identik dengan perebutan kekuasaan?
Sekarang ibaratkan otakmu adalah pusat kekuasaan dalam dirimu, istana pemegang kendali bagi seluruh organ dan mengatur pemenuhan seluruh hasrat, nafsu serta keinginan. Artinya, otak yang ada di dalam kepalamu itu adalah pusaran kekuasaan yang menjadi pemimpin atas mata, tangan, perut, kaki, jari-jemari, bahkan jantung, syaraf, dan pembuluh nadi.
Jika ada salah satu bagian dari organ tubuhmu yang membutuhkan sesuatu niscaya ia akan memberitahu ‘aspirasi’-nya pada kepalamu agar engkau tahu dan segera mengambil tindakan untuk memenuhinya. Misalnya kalau perutmu membutuhkan makanan untuk diolah menjadi energi baru bagi tubuhmu yang sudah lemas, maka ia akan segera memberitahu pusat kekuasaan dalam dirimu yakni otak. Sehingga kau pun merasa lapar, dan segera mengambil tindakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan makan.
Begitu pun jikalau di suatu daerah pembangunan sangat minim, bahkan tidak ada listrik untuk menonton teve maka masyarakat di
Karenanya setiap orang yang berusaha untuk merebut kekuasaan sesungguhnya sedang berusaha untuk menyalurkan ‘aspirasi’ kebutuhannya. Sebab, dengan cara menjadi bagian dari kekuasaan, maka kebutuhan golongan masyarakat yang ia rasa selama ini belum terpenuhi bisa segera terealisasikan. Karenanya pengusaha berusaha menjadi penguasa agar birokrasi menjadi lebih ramah pada investasi, mantan polisi berusaha menjadi penguasa untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang aman dan tentram, atau seorang yang religius ingin menjadi penguasa untuk ‘membersihkan’ birokrasi dan aparatur pemerintahan. Lalu manakah dari hal itu hal yang salah?
Ya, tentu saja menjadi salah ketika motif seseorang menjadi penguasa bukan karena hendak merealisasikan kebutuhan masyarakat, melainkan hendak memperkaya pundi-pundi pribadinya. Ingat, politik itu soal bagi-bagi
Politik itu kotor, benarkah?
Tidak, politik itu adalah istilah yang netral, jadi sama sekali bukan hal yang negatif. Ibarat sebuah pisau, tergantung siapa dan untuk kegunaan apa pisau itu dipakai. Kalau kau seorang pedagang daging, pisau akan sangat membantumu untuk memotong daging sehingga memudahkanmu dan pembeli untuk bertransaksi sesuai ukuran dan harga, tetapi jika kau adalah seorang pembunuh berdarah dingin maka pisau itu akan sangat berbahaya sekali.
Politik sesungguhnya sama saja dengan lapangan kehidupan lain yang sama-sama bekerja dalam tataran masyarakat seperti halnya ekonomi, hukum, seni dan budaya, Iptek, atau bahkan kesehatan. Bahkan kalau mau dibongkar satu per satu, semua ranah kehidupan yang tadi disebut sesungguhnya sama-sama menyimpan sisi buruk. Dalam dunia ekonomi misalnya, berapa banyak pengusaha yang mengeksploitasi lingkungan demi meraup keuntungan, berkomplotasi dengan birokrasi untuk menghindari pajak, atau menghabisi lawan-lawan bisnisnya dengan cara-cara yang tidak halal.
Dalam dunia hukum, sudah cukup sering kita mendengar kasus jaksa dan hakim yang memeras terdakwa jika mau bebas dari tuntutan. Dalam dunia seni dan budaya kita juga tak asing dengan ulah sebagian kecil seniman yang melakukan plagiarisme dengan motif mempercepat ketenaran. Di dunia iptek, kita tak akan pernah lupa bagaimana kemajuan teknologi ternyata dapat membunuh jutaan manusia, karena teknologi tersebut digunakan untuk membuat bom nuklir. Malahan di dunia kesehatan, tak jarang kita temui institusi kesehatan atau dokter yang malpraktik.
Sehingga menjadi kelirulah pendapat orang-orang yang beranggapan bahwa politik itu kotor, karena sesungguhnya setiap bidang kehidupan selalu ada sisi jahat dan sisi baik. Bukan berarti karena ada sisi buruk, berarti politik itu kita simpulkan 100% kotor, jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga, gitu lah kira-kira.
Lalu apa yang spesial dengan politik?
Begini, ada hal-hal yang memang membuat kasus korupsi anggota dewan misalnya menjadi dosa yang begitu tak termaafkan, atau pembangunan gedung baru dewan dianggap sangat menyakiti hati rakyat. Sebabnya adalah karena proses politik adalah ranah kehidupan yang paling utama, ketimbang ekonomi, hukum, dll.
Mengapa yang paling utama? Karena semua kebijakan mengenai ranah kehidupan lainnya ditentukan di lapangan politik. Tetapi masalahnya, tidak semua orang bisa menjadi pemimpin, bahkan itu tidak boleh terjadi. Bayangkan ketika berperang, semua orang menjadi panglima apa yang kira-kira akan terjadi? Karenanya, politik hanya diisi oleh sekelompok kecil manusia saja, dan karena itu maka politik menjadi sorotan yang paling digemari oleh publik. Kau mungkin sudah muak melihat politisi di teve kan?
Karena menjadi sorotan publik nomor wahid, maka setitik kesalahan yang terjadi di lapangan politik akan menjadi dosa besar yang seolah-olah tak bisa diampuni. Semua mata tertuju pada ranah ini, sehingga sedikit saja keliru, seorang politisi bisa menjadi bulan-bulanan masyarakat, dikomentari berminggu-minggu di berbagai forum internet, dianggap tidak aspiratif, dianggap menyakiti hati rakyat, dsb.
Begitulah kira-kira.
Selasa, 17 Mei 2011
Dari Konflik Menuju Equilibrium
Ideal, konstan, ceteris paribus...
Ketika variabel lain dinafikan, kurva supply dan demand bertemu pada suatu titik, itulah equilibrium.
Namun ia hanyalah sebuah konsep, tempatnya di dunia ide dan terkurung dalam tabir pikiran.
Ketika variabel lain dimunculkan, maka selamat datang di dunia nyata!
Variabel-variabel itulah yang selalu menghiasi perjalanan sejarah manusia, ia mustahil ditiadakan, titik equilibrium selalu menyesuaikan dirinya.
Variabel-variabel itulah yang membuat hidup terus berputar, menyebabkan konflik akibat kontradiksi yang tiada henti, titik equilibrium selalu menyesuaikan dirinya.
Inilah proses yang terus berlangsung, panjang, namun bukan berarti kekal.
Inilah proses yang dinamis, linier, tapi bukan berarti pelik.
Ia tersusun dari pola-pola tertentu yang dapat dimengerti.
Ia terdiri atas hakikat perubahan, hukum, dan sangat determinis.
Kita manusia tidak memiliki kehendak bebas saat ini, konflik berada diluar kendali kita.
Tidak ada pilihan lain... kita hanya bisa mengikuti arus, terhanyut di dalamnya.
Dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan. Pengiyaan, pengingkaran, dan akhirnya... kesatuan kontradiksi.
Kelak, suatu hari yang pasti akan datang, kontradiksi itu akan berakhir.
Ketika untuk pertama kalinya manusia dimungkinkan untuk memperolah kebebasannya dan pemenuhan diri.
Saat itu kita tak terpecah belah, melainkan satu kesatuan organik.
Saat itulah kita telah mencapai suatu penyesuaian dari titik equilibrium!
Jumat, 06 Mei 2011
Hegemonik
Topik menarik apa kali ini? Positivisme? terlalu biasa... Post-marxist? Hmm... Wah ternyata sebuah fakta sejarah! Fakta bahwa bangsa ini telah mengalami ditorsi yang luar biasa, fakta bahwa kita tak menyadari bias.
Saat ini orang-orang terus bicara soal mana yang benar dan mana yang salah, seolah-olah mereka menjadi manusia yang paling mengerti makna dari kedua hal tersebut. Seakan ini hanyalah soal adanya penyakit flu burung yang sedang mewabah dan dorongan untuk terus mengupayakan vaksinasi penawarnya!
"NKRI dan Aceh Merdeka," kata dosenku, "hanyalah soal siapa yang paling hegemonik dalam menguasai wacana."
Selama ini kita memang tak pernah mengerti mengapa mereka mengangkat senjata dan buku-buku sejarah SMP dan SMA membantu kita untuk terus tak paham, bahkan untuk fungsi itulah buku-buku itu dibuat.
Kata pengkhianat, pemberontak, pengacau liar, separatis, sampai teroris adalah mantra ampuhnya. Dengan argumentasi yang cukup meyakinkan seekor kambing sekalipun dapat dilabeli sebagai bos penjahat terbesar di dunia. "Hei! Kalau begitu kita ini cuma bicara tentang penguasa dengan hegemonic discourse keparatnya itu?"
Lalu mengapa setiap hari harus ada jiwa-jiwa yang melayang dihadapan eksekutor "bom jihad" atau selongsong meriam hanya karena ambisi ideologi? Sungguh kemanusiaan telah tercerabut dari akarnya dan orang-orang telah bersorak-sorai merayakan kematian manusia dibelahan dunia lainnya. Lalu sampai kapan kita mau mengerti? Betapa lingkaran setan ini akan terus menerus menjadi teror bagi anak cucu kita kelak.
Senin, 02 Mei 2011
DNA dan Tabiat Bangsa
Bangsa-bangsa barat dipaksa mematuhi setiap bentuk hukum atau aturan karena dihadang pergantian musim salju, semi, panas, dan gugur setiap tiga bulan. Saat salju turun mereka masuk ke dalam goa setelah menyetok makanan. Pada musim semi dan panas mereka berburu, lalu pada musim gugur siap-siap bersembunyi lagi menghindari siksaan alam. Itulah sebab bangsa-bangsa barat unggul di dunia teknologi yang serba "zero tolerance," karena mereka sudah terbiasa hidup disiplin, sedikit kelalaian berakibat fatal (urusan hidup dan mati).
Berbeda dengan yang hidup di negeri tropis yang amat nikmat karena alam dan makanannya yang sehat. Rasa nyaman di negeri yang buah-buahannya aduhai, anginnya yang sepoi-sepoi, pantainya yang indah, sambalnya yang nikmat nan beraneka ragam, dan seabrek kekayaan alam yang berlimpah ruah membuat bangsa tersebut larut dalam kegemerlapan. Tidak heran, di negeri kita yang kebetulan beriklim tropis ini dikenal konsep "gemah ripah loh jinawi," mangan ora mangan sing penting ngumpul," atau "pela gendong," misalnya.
Bangsa ini gemar mengarang khayalan indah seperti Joko Tingkir atau Si Malin Kundang. Bangsa ini kaya pujangga, budayawan, musisi, sampai tukang ngamen. Hanya di sinilah ada predikat 'gaib' seperti penikmat, penggiat, pemerhati, sampai "pendekar" demokrasi. Dan sesungguhnya bangsa ini terlahir sebagai politisi. Dalam istilah melayu, bangsa ini sanggup "berbual-bual" selama seharian menyantap singkong dan menyeruput bandrek di warung kopi.
Kamis, 28 April 2011
Asumsi
Pandangan berubah ketika kita semakin dewasa, dunia ternyata tak sebesar yang dibayangkan. Semesta menciut bahkan bagi yang putus asa, dunia tak lebih lebar dari pada daun kelor.
Katakanlah kita sedang mempelajari ilmu ukur bidang datar, tarik garis ke sana, buat garis ke sini, hitung berapa besar sudut yang menyilang, hitung berapa sudut yang berhadapan. Analisis seperti ini kita lakukan untuk membuat kontruksi kayu atap rumah kita.
Sekarang dalam bidang datar yang sama, bayangkan para amuba mau bikin rumah juga. Ternyata masalah yang dihadapi oleh arsitek-arsitek amuba berbeda dengan kita. Bagi amuba bidang datar itu tidak rata dan mulus seperti pipi wanita yang sudah di make-up, melainkan bergelombang penuh dengan kurva mempesona.
Karenanya jarak yang terdekat bukan lagi garis lurus (seperti diformulasikan dalam ilmu ukur kita) melainkan garis lengkungan, seperti titian biang lala.
Lalu mengapa terdapat perbedaan pandangan yang nyata terhadap sebuah objek yang kongkret seperti sebuah bidang ? Mengapa manusia dan amuba seakan hidup di dunia yang berbeda ? Ahli fisika asal Swiss, Charless Eugene Guye menyimpulkan, sebabnya adalah karena perbedaan skala observasi.
Bagi skala observasi anak kecil, kaki-kaki orang dewasa itu begitu gigantik, sedangkan bagi skala observasi amuba, bidang datar ini merupakan daerah pemukiman yang berbukit-bukit.
Secara mutlak, tak ada yang tahu seperti apa sebenarnya bidang datar tersebut. Mungkin padang elektron, mungkin bukit meson, atau mungkin cuma zarah debu... Wallahualambishawab, hanya Penciptanya yang tahu!