Rabu, 22 Februari 2012

Checkpoint

Fajar menyingsing dari balik gedung-gedung tinggi menjulang di metropolis terbesar kedua negeri jiran Malaysia. Dari balik pintu kaca aku berdiri memandang cakrawala langit yang begitu eksotik di ketinggian 132 kaki dari permukaan tanah. Kabut pagi masih menyelubungi kota, dari tempat ku berdiri nampak deretan pencakar langit yang masih samar. Itulah Singapura, satu-satunya negara maju di belahan tenggara benua Asia.

Tepat pukul 08.00 waktu Malaysia, bus melaju ke arah sebuah checkpoint perbatasan. Sebuah jembatan penghubung yang membelah selat Tebrau antara pulau Singapura dan Semenanjung Malaya terpampang di hadapan. Paling tidak ada 4 checkpoint perbatasan antara kedua negara dengan berbagai moda transportasi yakni, Johor-Singapore Causeway, Malaysia-Singapore Second Link, Changi Point-Pengerang, dan Tanjong Pagar Railway Station-Woodlands Train Chekpoint. Sedangkan jembatan yang akan kami lewati ini adalah Johor-Singapore Causeway.

Tepat di tengah-tengah jembatan, terdapat perbedaan warna aspal jalan yang sangat mencolok, itulah akhir dari wilayah singapura dan malaysia, titik perbatasan. Di sisi Malaysia warna aspal terlihat lebih cerah, sedangkan di sisi Singapura warnanya lebih gelap sehingga warna cat putih yang menjadi garis tengah putus-putus di badan jalan terlihat lebih menyala. Ya harap maklum saja, masing-masing negara punya selera.
Pic: Wikipedia.Org
Sedikit berbeda dengan chekpoint perbatasan di kawasan Malaysia, di wilayah woodland Singapura ini pemerikasaan jauh lebih ketat. Pemandu wisata kami berulang kali mengingatkan untuk tidak membawa barang-barang ilegal kalau tidak mau didenda. Permen karet adalah salah satu barang yang diharamkan masuk ke Singapura. Are you kidding me ?

Konon dahulu, seperti halnya negara normal lainnya Singapura tidak membatasi masuknya permen karet ke negerinya. Namun, pada suatu hari seluruh sistem KRL di negeri singa itu tiba-tiba saja rusak. Tim investigasi ternyata menemukan sebuah permen karet yang dibuang secara sembarangan di sekitar  pintu KRL. Kontan hal tersebut membuat pintu macet saat sistem komputer secara otomatis membukanya. Tak disangka hal tersebut merembet ke jaringan lainnya dan merusak seluruh sistem.

Pagi ini seperti biasa perbatasan Singapura-Malaysia di titik chekpoint Woodland begitu ramai. Para pekerja dari Johor Bahru adalah mayoritas penyebrang perbatasan. Bersama puluhan pegawai industri manufaktur dan jasa asal Malaysia aku mengantri di belakang garis kuning untuk mencap paspor. Layaknya kebiasaan di negara maju lainnya, budaya antre yang sangat rapi menjadi ciri khas Singapura dan Malaysia.

Kawasan segitiga emas Indonesia-Singapura-Malaysia adalah pusat ekonomi di selat Malaka. Volume arus barang sangat tinggi yang melewati wilayah ini diimbangi dengan pelabuhan dan bandara yang besar. kawasan ditopang dengan daerah industri terpadu dan pusat bisnis terkemuka. Johor Bahru dan Pulau Batam di seberang sana adalah kota-kota peyangga bagi Singapura. Tak heran banyak pekerja industri manufaktur di Singapura yang berdomisili di Johor Bahru, Malaysia ataupun Pulau Batam, Indonesia karena bisa menekan biaya hidup jauh lebih rendah.

Sebenarnya aku sangat menghindari checkpoint perbatasan. Kalau saja tak ada hukum internasional dan Undang-Undang perbatasan di setiap negara, aku adalah orang pertama yang memilih untuk bersusah payah melompati tembok atau menerobos pagar dari pada berjalan santai melewati jalan raya tapi harus berhdapan dengan petugas imigrasi. Pasalnya setiap kali berhadapan dengan petugas imigrasi selalu ada acara periksa isi tas dan sesi bincang-bincang (talkshow) tidak lucu yang sengaja di desain untuk keperluan birokrasi dan administrasi. Belum lagi kalau ada oknum imigrasi nakal yang selalu minta jatah satu dolar dari turis asing. Untungnya Singapura begitu disiplin, sehingga proses cap paspor berjalan dengan efisien.

Kemegahan Singapura langsung terlihar begitu aku menuruni anak tangga yang menjadi gerbang keluar chekpoint Woodland. Kanopi koridor tangga yang menutupi horizon perlahan-lahan mulai habis seiring semakin rendahnya anak tangga yang aku turuni, dan menyingkap pesona negeri kepulauan terkaya seantero ASEAN. Bus telah menanti di parkir offstreet di pinggir jalan. Wilayah jalan raya di sini masih merupakan bagian dari jembatan di atas permukaan laut. Kami pun bergegas bersama bus yang mengantarkan kami ke daratan. Waw! It’s Singapore!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post