Tepat pukul 08.00
waktu Malaysia, bus melaju ke arah sebuah checkpoint perbatasan. Sebuah jembatan
penghubung yang membelah selat Tebrau antara pulau Singapura dan Semenanjung
Malaya terpampang di hadapan. Paling tidak ada 4 checkpoint perbatasan antara
kedua negara dengan berbagai moda transportasi yakni, Johor-Singapore Causeway,
Malaysia-Singapore Second Link, Changi Point-Pengerang, dan Tanjong Pagar
Railway Station-Woodlands Train Chekpoint. Sedangkan jembatan yang akan kami
lewati ini adalah Johor-Singapore Causeway.
Tepat di
tengah-tengah jembatan, terdapat perbedaan warna aspal jalan yang sangat
mencolok, itulah akhir dari wilayah singapura dan malaysia, titik perbatasan.
Di sisi Malaysia warna aspal terlihat lebih cerah, sedangkan di sisi Singapura
warnanya lebih gelap sehingga warna cat putih yang menjadi garis tengah
putus-putus di badan jalan terlihat lebih menyala. Ya harap maklum saja,
masing-masing negara punya selera.
Sedikit berbeda
dengan chekpoint perbatasan di kawasan Malaysia, di wilayah woodland Singapura
ini pemerikasaan jauh lebih ketat. Pemandu wisata kami berulang kali mengingatkan
untuk tidak membawa barang-barang ilegal kalau tidak mau didenda. Permen karet
adalah salah satu barang yang diharamkan masuk ke Singapura. Are you kidding me ?
Konon dahulu,
seperti halnya negara normal lainnya Singapura tidak membatasi masuknya permen
karet ke negerinya. Namun, pada suatu hari seluruh sistem KRL di negeri singa
itu tiba-tiba saja rusak. Tim investigasi ternyata menemukan sebuah permen
karet yang dibuang secara sembarangan di sekitar pintu KRL. Kontan hal tersebut membuat pintu macet
saat sistem komputer secara otomatis membukanya. Tak disangka hal tersebut
merembet ke jaringan lainnya dan merusak seluruh sistem.
Pagi ini seperti
biasa perbatasan Singapura-Malaysia di titik chekpoint Woodland begitu ramai.
Para pekerja dari Johor Bahru adalah mayoritas penyebrang perbatasan. Bersama
puluhan pegawai industri manufaktur dan jasa asal Malaysia aku mengantri di
belakang garis kuning untuk mencap paspor. Layaknya kebiasaan di negara maju
lainnya, budaya antre yang sangat rapi menjadi ciri khas Singapura dan
Malaysia.
Kawasan segitiga
emas Indonesia-Singapura-Malaysia adalah pusat ekonomi di selat Malaka. Volume
arus barang sangat tinggi yang melewati wilayah ini diimbangi dengan pelabuhan
dan bandara yang besar. kawasan ditopang dengan daerah industri terpadu dan
pusat bisnis terkemuka. Johor Bahru dan Pulau Batam di seberang sana adalah
kota-kota peyangga bagi Singapura. Tak heran banyak pekerja industri manufaktur
di Singapura yang berdomisili di Johor Bahru, Malaysia ataupun Pulau Batam,
Indonesia karena bisa menekan biaya hidup jauh lebih rendah.
Sebenarnya aku
sangat menghindari checkpoint perbatasan. Kalau saja tak ada hukum
internasional dan Undang-Undang perbatasan di setiap negara, aku adalah orang pertama
yang memilih untuk bersusah payah melompati tembok atau menerobos pagar dari
pada berjalan santai melewati jalan raya tapi harus berhdapan dengan petugas imigrasi.
Pasalnya setiap kali berhadapan dengan petugas imigrasi selalu ada acara
periksa isi tas dan sesi bincang-bincang (talkshow) tidak lucu yang sengaja di
desain untuk keperluan birokrasi dan administrasi. Belum lagi kalau ada oknum
imigrasi nakal yang selalu minta jatah satu dolar dari turis asing. Untungnya
Singapura begitu disiplin, sehingga proses cap paspor berjalan dengan efisien.
Kemegahan
Singapura langsung terlihar begitu aku menuruni anak tangga yang menjadi
gerbang keluar chekpoint Woodland. Kanopi koridor tangga yang menutupi horizon
perlahan-lahan mulai habis seiring semakin rendahnya anak tangga yang aku turuni,
dan menyingkap pesona negeri kepulauan terkaya seantero ASEAN. Bus telah
menanti di parkir offstreet di pinggir jalan. Wilayah jalan raya di sini masih
merupakan bagian dari jembatan di atas permukaan laut. Kami pun bergegas
bersama bus yang mengantarkan kami ke daratan. Waw! It’s Singapore!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar