Kamis, 23 Februari 2012

It's Singapore!

Bus melaju di jalan tol tanpa hambatan yang berarti. Sejauh mata memandang di sebelah kanan dan kiri terdapat gundukan tanah menyerupai bukit yang ditumbuhi rumput dan pepohonan. Sesekali terlihat gedung tinggi menjulang di balik bukit tersebut. Gedung-gedung di kawasan utara Singapura ini setiap tingkatnya tampak memiliki balkon. Tak jarang kujumpai pakaian terjemur di balkon-balkon tersebut, sepertinya gedung-gedung tersebut adalah apartemen untuk warga kelas menengah Singapura.

Keterbatasan lahan dan ruang membuat berbagai kota besar di dunia mengembangkan pola tata ruang dengan kebijakan pembangunan vertikal, yang berarti gedung-gedung tinggi menjulang dan pencakar langit seisi kota, termasuk kondominium untuk tempat tinggal. Singapura yang hanya memiliki luas 710.2 km persegi, adalah salah satu pusat gedung-gedung jangkung di Asia Tenggara. Singapura tak lebih besar ketimbang pulau batam yang memiliki luas daratan 1.040 km persegi, satu setengah kali lebih luas ketimbang “Kota Singa” ini. 

By the way, sistem jalan tol di Singapura menggunakan ERP atau Electronic Road Pricing. Sebuah gerbang ERP dilengkapi alat pengidentifikasi kendaraan, antena dan kamera. Sedangkan setiap kendaraan yang melewati jalan harus dilengkapi dengan In-vehicle unit (IU), sebuah alat tempat meletakkan cash card untuk membayar tarif ERP. Saat kendaraan melewati gerbang ERP, maka biaya akan langsung dikenakan pada IU yang terlihat di tampilannya. Konon, kebijakan penerapan ERP ini mengurangi jumlah kendaraan di jalan raya yang berarti mengurangi tingkat kemacetan di Singapura. Baru-baru ini Ibu kota Jakarta hendak mengadopsi sistem yang sama untuk beberapa jalan protokol menggantikan sistem 3 in 1 yang dianggap kurang efektif.
Salah satu gerbang ERP, Singapura
Pic: wikipedia.org
Tampaknya kami sudah memasuki kawasan pusat kota Singapura, tampak dengan jelas orang-orang muda di sini berpakaian layaknya eksekutif dengan stelan formal memakai jas dan dasi. Trotoar jalan di kiri dan kanan di tata begitu apik dengan taman-taman yang indah dan pepohonan rindang sehingga membuat para pejalan kaki menikmati setiap langkah mereka. Tapi tunggu dulu! Mengapa orang-orang itu tampaknya sama sekali tak menikmatinya? Mereka berjalan dengan sangat cepat bak dikejar setan. Apa mereka semua adalah atlet berjalan cepat? Hoho, ternyata itu adalah budaya warga Singapura yang sangat menghargai waktu, begitulah penjelasan dari pemandu wisata kami. Fenomena yang lazim terlihat di negara-negara maju, khususnya di pusat-pusat bisnis dan ekonomi.

Singapura adalah negeri dengan total Pendapatan Domestik Bruto sebesar 255.338 miliar dollar pada tahun 2010, kekayaannya membuat negeri ini menempati urutan indeks kualitas hidup tertinggi di Asia. Sejarah Singapura telah ada sejak abad kedua masehi, saat pemukiman pertama tercatat didirikan. Saat itu Singapura adalah pos luar kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Setelah resmi merdeka dari Britania Raya pada tahun 1963, Singapura bergabung dengan sejumlah negeri persekutuan tanah Melayu di semenanjung Malaya dan membentuk Malaysia. Namun dua tahun kemudian Singapura keluar. Konon, alasan utamanya karena faktor perbedaan identitas. Perubahan politik membuat status perairan di selat Tebrau (Johor) berubah menjadi selat internasional, dan Singapura resmi menjadi negara mandiri. 

Ruas jalan satu arah yang sedang dilewati busku ini adalah Orchard Road. Sebuah kawasan pusat retail dan pariwisata di Singapura.  Orchad secara harfiah berarti kebun buah, dinamakan begitu sebab dulunya jalan ini merupakan daerah perkebunan. Tepat satu abad yang lalu, tak ada gedung  berjulang tinggi disini, yang ada hanyalah hamparan pepohonan sejauh mata memandang.Jalan Orchad juga sempat menjadi wilayah pemakaman sebelum akhirnya digantikan dengan sejumlah hotel dan bahkan kediaman resmi kepresidenan.

Beberapa barang mewah bermerk seperti Bottega Venet**, Louis V*itton, H*rmes, New Arr*val, Pr*da, Gu*ci, dan lain sebagainya berjejer apik bak etalase mainan khusus bagi orang-orang yang berduit. Sebuah gedung berlantai dua tampak memiliki dinding kaca depan yang berfungsi sebagai layar televisi raksasa, sungguh menambah kesan modren kawasan yang memang sudah elit ini. Terdapat tiga stasiun MRT di sepanjang jalan ini untuk transportasi para komuter, penduduk lokal, pelajar dan wisatawan salah satunya terhubung dengan Wisma Atria yang dahulu merupakan Kedutaan Besar Repubik Indonesia.

Oiya, soal kedisiplinan warga Singapura yang sering kuulas, hal itu terjadi bukan tanpa sebab. Sistem hukum khas peninggalan kolonial Inggris yang mematok denda sangat besar untuk hal-hal kecil yang bisanya bukan pelanggaran hukum  di negara-negara lain membuat penduduk mau tidak mau harus disiplin kalau tidak ingin merogoh kocek.  Dilarang merokok sembarangan, menguyah permen karet, memberi makan burung, pipis di sembarang tempat, sampai buang ingus di sembarang tempat, kalau tidak mau di denda 500 dolar. Satu dolar Singapura kira-kira sebanding dengan 6.800 rupiah.

Bus pun membawa kami ke sebuah (semacam) plaza tepat di bawah jembatan di pinggir lautan. Dari sini terlihat pesisir laut (meski tak ada sedikitpun pasir pantai) di satu sisi dan skyline gedung-gedung bertingkat Singapura di sisi yang lain. Lahan pesisir ini tingginya mungkin sekitar 20 meter di atas permukaan laut, sehingga sangat tak mungkin terjadi abrasi pantai. Pandangan pertama saat tiba di lokasi ini langsung tertuju pada satu hal dan pemandangan itu membuatku hampir shock. Waw! Sebuah kapal pesiar di atas tiga gedung bertingkat? 

Tiba-tiba saja alam pikiranku terbawa pada memori peristiwa Tsunami Aceh akhir tahun 2004 lalu. Saat itu gelombang air raksasa yang menyapu daratan membawa serta kapal-kapal nelayan dan bahkan kapal tanker yang berukuran besar. Pasca kejadian, tak jarang kapal-kapal itu bertengger di atas bangunan yang tersisa dan beberapa diantaranya dibiarkan sampai sekarang sebagai saksi sejarah peristiwa kelam tersebut. 

Tapi apa yang ada di hadapanku ini sama sekali tidak masuk akal. Kapal pesiar yang ukuran panjangnya mungkin 3 kali kapal tanker yang baru saja kubicarakan, ditambah tinggi tiga bangunan yang meyangga itu mungkin lebih dari 3000 kaki, gelombang tsunami macam apa yang membawanya bertengger di atas sana? Apa baru-baru ini Singapura terkena tsunami dahsyat? Kenapa tidak ada berita di televisi? Lalu, kalau memang benar terkena tsunami, apakah sebanding dengan banjir bandang pada zaman Nuh? 

 Ternyata oh ternyata, apa yang kusaksikan adalah murni teknik rekayasa arsitektur manusia. Gedung itu memang hasil rancangan cerdas untuk memikat turis sekaligus daya tarik monumental diantara deretan langit Singapura. Gedung tersebut adalah Marina Bay, yang merupakan bagian dari proyek reklamasi lahan pada tahun 1970-an. Penggemar F-1 Grand Prix pasti tak asing dengan bagunan ini, sebab sirkuit yang melalui Marina Bay dipakai pada tahun 2008 lalu.
Skyline Singapura, Marina Bay tampak dari kejauhan.
Pic: wikipedia.org
 Masih di area plaza yang sama. Terdapat ikon Singapura terkenal di sini yakni patung singa Marlion. Namun yang statusnya operasionil hanya yang kecil (anak Marlion) sedangkan yang besar sedang dalam proses perbaikan. Jumlah total ada 3 patung singa yang terkenal di Singapura, ketiganya adalah satu keluarga (hehe). Ibu dan anak-nya ditempatkan di sini, sedangkan bapaknya dicampakkan ke Pulau Sentosa. Tampak sejumlah gadis berfoto ria di dekat patung, beberapa diantaranya berseragam sekolah. Duh... manis-manis semua (wkwk).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post