Keterbatasan
lahan dan ruang membuat berbagai kota besar di dunia mengembangkan pola tata
ruang dengan kebijakan pembangunan vertikal, yang berarti gedung-gedung tinggi
menjulang dan pencakar langit seisi kota, termasuk kondominium untuk tempat
tinggal. Singapura yang hanya memiliki luas 710.2 km persegi, adalah salah satu
pusat gedung-gedung jangkung di Asia Tenggara. Singapura tak lebih besar
ketimbang pulau batam yang memiliki luas daratan 1.040 km persegi, satu
setengah kali lebih luas ketimbang “Kota Singa” ini.
By the way, sistem jalan tol di Singapura menggunakan ERP
atau Electronic Road Pricing. Sebuah gerbang ERP dilengkapi alat
pengidentifikasi kendaraan, antena dan kamera. Sedangkan setiap kendaraan yang
melewati jalan harus dilengkapi dengan In-vehicle unit (IU), sebuah alat tempat
meletakkan cash card untuk membayar
tarif ERP. Saat kendaraan melewati gerbang ERP, maka biaya akan langsung
dikenakan pada IU yang terlihat di tampilannya. Konon, kebijakan penerapan ERP
ini mengurangi jumlah kendaraan di jalan raya yang berarti mengurangi tingkat
kemacetan di Singapura. Baru-baru ini Ibu kota Jakarta hendak mengadopsi sistem
yang sama untuk beberapa jalan protokol menggantikan sistem 3 in 1 yang dianggap
kurang efektif.
Tampaknya kami
sudah memasuki kawasan pusat kota Singapura, tampak dengan jelas orang-orang
muda di sini berpakaian layaknya eksekutif dengan stelan formal memakai jas dan
dasi. Trotoar jalan di kiri dan kanan di tata begitu apik dengan taman-taman
yang indah dan pepohonan rindang sehingga membuat para pejalan kaki menikmati
setiap langkah mereka. Tapi tunggu dulu! Mengapa orang-orang itu tampaknya sama
sekali tak menikmatinya? Mereka berjalan dengan sangat cepat bak dikejar setan.
Apa mereka semua adalah atlet berjalan cepat? Hoho, ternyata itu adalah budaya
warga Singapura yang sangat menghargai waktu, begitulah penjelasan dari pemandu
wisata kami. Fenomena yang lazim terlihat di negara-negara maju, khususnya di
pusat-pusat bisnis dan ekonomi.
Singapura adalah
negeri dengan total Pendapatan Domestik Bruto sebesar 255.338 miliar dollar
pada tahun 2010, kekayaannya membuat negeri ini menempati urutan indeks
kualitas hidup tertinggi di Asia. Sejarah Singapura telah ada sejak abad kedua
masehi, saat pemukiman pertama tercatat didirikan. Saat itu Singapura adalah
pos luar kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Setelah resmi merdeka dari Britania
Raya pada tahun 1963, Singapura bergabung dengan sejumlah negeri persekutuan
tanah Melayu di semenanjung Malaya dan membentuk Malaysia. Namun dua tahun
kemudian Singapura keluar. Konon, alasan utamanya karena faktor perbedaan
identitas. Perubahan politik membuat status perairan di selat Tebrau (Johor)
berubah menjadi selat internasional, dan Singapura resmi menjadi negara
mandiri.
Ruas jalan satu
arah yang sedang dilewati busku ini adalah Orchard Road. Sebuah kawasan pusat
retail dan pariwisata di Singapura.
Orchad secara harfiah berarti kebun buah, dinamakan begitu sebab dulunya
jalan ini merupakan daerah perkebunan. Tepat satu abad yang lalu, tak ada
gedung berjulang tinggi disini, yang ada
hanyalah hamparan pepohonan sejauh mata memandang.Jalan Orchad juga sempat
menjadi wilayah pemakaman sebelum akhirnya digantikan dengan sejumlah hotel dan
bahkan kediaman resmi kepresidenan.
Beberapa barang
mewah bermerk seperti Bottega Venet**, Louis V*itton, H*rmes, New Arr*val,
Pr*da, Gu*ci, dan lain sebagainya berjejer apik bak etalase mainan khusus bagi
orang-orang yang berduit. Sebuah gedung berlantai dua tampak memiliki dinding
kaca depan yang berfungsi sebagai layar televisi raksasa, sungguh menambah
kesan modren kawasan yang memang sudah elit ini. Terdapat tiga stasiun MRT di
sepanjang jalan ini untuk transportasi para komuter, penduduk lokal, pelajar
dan wisatawan salah satunya terhubung dengan Wisma Atria yang dahulu merupakan
Kedutaan Besar Repubik Indonesia.
Oiya, soal kedisiplinan
warga Singapura yang sering kuulas, hal itu terjadi bukan tanpa sebab. Sistem
hukum khas peninggalan kolonial Inggris yang mematok denda sangat besar untuk
hal-hal kecil yang bisanya bukan pelanggaran hukum di negara-negara lain membuat penduduk mau
tidak mau harus disiplin kalau tidak ingin merogoh kocek. Dilarang merokok sembarangan, menguyah permen
karet, memberi makan burung, pipis di sembarang tempat, sampai buang ingus di
sembarang tempat, kalau tidak mau di denda 500 dolar. Satu dolar Singapura
kira-kira sebanding dengan 6.800 rupiah.
Bus pun membawa
kami ke sebuah (semacam) plaza tepat di bawah jembatan di pinggir lautan. Dari
sini terlihat pesisir laut (meski tak ada sedikitpun pasir pantai) di satu sisi
dan skyline gedung-gedung bertingkat Singapura di sisi yang lain. Lahan pesisir
ini tingginya mungkin sekitar 20 meter di atas permukaan laut, sehingga sangat
tak mungkin terjadi abrasi pantai. Pandangan pertama saat tiba di lokasi ini
langsung tertuju pada satu hal dan pemandangan itu membuatku hampir shock. Waw!
Sebuah kapal pesiar di atas tiga gedung bertingkat?
Tiba-tiba saja
alam pikiranku terbawa pada memori peristiwa Tsunami Aceh akhir tahun 2004 lalu.
Saat itu gelombang air raksasa yang menyapu daratan membawa serta kapal-kapal
nelayan dan bahkan kapal tanker yang berukuran besar. Pasca kejadian, tak
jarang kapal-kapal itu bertengger di atas bangunan yang tersisa dan beberapa
diantaranya dibiarkan sampai sekarang sebagai saksi sejarah peristiwa kelam
tersebut.
Tapi apa yang ada
di hadapanku ini sama sekali tidak masuk akal. Kapal pesiar yang ukuran
panjangnya mungkin 3 kali kapal tanker yang baru saja kubicarakan, ditambah
tinggi tiga bangunan yang meyangga itu mungkin lebih dari 3000 kaki, gelombang
tsunami macam apa yang membawanya bertengger di atas sana? Apa baru-baru ini
Singapura terkena tsunami dahsyat? Kenapa tidak ada berita di televisi? Lalu,
kalau memang benar terkena tsunami, apakah sebanding dengan banjir bandang pada
zaman Nuh?
Ternyata oh ternyata, apa yang kusaksikan
adalah murni teknik rekayasa arsitektur manusia. Gedung itu memang hasil
rancangan cerdas untuk memikat turis sekaligus daya tarik monumental diantara
deretan langit Singapura. Gedung tersebut adalah Marina Bay, yang merupakan
bagian dari proyek reklamasi lahan pada tahun 1970-an. Penggemar F-1 Grand Prix
pasti tak asing dengan bagunan ini, sebab sirkuit yang melalui Marina Bay
dipakai pada tahun 2008 lalu.
Masih di area
plaza yang sama. Terdapat ikon Singapura terkenal di sini yakni patung singa
Marlion. Namun yang statusnya operasionil hanya yang kecil (anak Marlion)
sedangkan yang besar sedang dalam proses perbaikan. Jumlah total ada 3 patung
singa yang terkenal di Singapura, ketiganya adalah satu keluarga (hehe). Ibu
dan anak-nya ditempatkan di sini, sedangkan bapaknya dicampakkan ke Pulau
Sentosa. Tampak sejumlah gadis berfoto ria di dekat patung, beberapa
diantaranya berseragam sekolah. Duh... manis-manis semua (wkwk).
Skyline Singapura, Marina Bay tampak dari kejauhan. Pic: wikipedia.org |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar