Kamis, 22 Desember 2011

PERINGATAN, buat kamu yang nganggep ekskul itu ga penting !

Ogah ah, kurang kerjaan banget,” Itulah jawaban yang dikatakan sebagian besar siswa sekolah ketika ditawarkan untuk bergabung dengan kegiatan ekstra kurikuler atau organisasi kesiswaan di sekolahnya. Memang, boleh jadi tidak semua orang menggunakan kalimat yang senada, akan tetapi maksud yang terkandung di dalamnya kurang lebih sama.

Kehidupan yang serba mudah dan cepat era teknologi seperti saat ini telah menciptakan generasi serba instan dan individualistis. Instan karena kecendrungan untuk mendapatkan hasil yang cepat dan mudah untuk segala hal sangat diprioritaskan, dan individualistis karena demam teknologi smart phone dan gadget  di kalangan generasi muda bangsa ini justru menutup mata dan telinga mereka terhadap persoalan sekitar dan lingkungannya. Kebanyakan dari mereka hanya memikirkan segala hal yang terkait dengan diri atau pun kelompok bermainnya saja, sehingga persoalan lain di luar hal itu diberi label “ga penting.

Yang menjadi ironi, kebijakan pendidikan di negeri ini justru membentuk mental siswa-siswi yang berorientasi pada nilai dan pencapaian prestasi akademik semata. Ambang batas nilai kelulusan Ujian Nasional yang terus meningkat dari tahun ke tahun membuat sebagian besar siswa “ketakutan” sehingga segala upaya pun ditempuh, meski terkadang harus melanggar aturan dan tak jarang menggadaikan harga diri. Akibatnya, para orang tua yang menafkahkan biaya pendidikan putra-putrinya pun dibentuk pemikirannya untuk menggapai segala upaya demi kelulusan sang anak. Masih lekat dalam ingatan kita kejadian yang menimpa siami, Ibu seorang siswa di Surabaya yang justru dicemooh oleh warga dan diusir dari lingkungannya karena menyuarakan kejujuran.

Ada kecendrungan di kalangan siswa bahwa mencapai nilai yang baik dan bisa masuk ke perguruan tinggi ternama dianggap menjadi acuan pencapaian yang sangat sakral dan dianggap sangat penting bagi masa depan serta menjadi satu-satunya penjamin kesuksesan dalam hidup. Sehingga, munculah sikap apatis terhadap persoalan diluar diri di kalangan siswa. Sikap “keakuan” ini merupakan gejala paling dominan untuk menjelaskan minimnya kaderisasi ekskul dan organisasi di sekolah hari ini. 

Sesungguhnya ada beberapa kekeliruan berpikir yang hendak diluruskan terkait anggapan umum di kalangan siswa saat ini tentang kesuksesan dan masa depan. Memang benar diakui, pendidikan akademik yang menitikberatkan pada aspek kognitif (yakni aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir) merupakan salah satu kunci kesuksesan seseorang, tetapi (yang harus dicatat) bukanlah yang paling menentukan. Jika pencapaian materi dianggap sebagai indikator kesuksesan seseorang, faktanya ada banyak orang kaya di dunia yang tidak sarjana. Dikatakan oleh banyak ahli, kreativitas berpikir menjadi acuan bagi kemajuan seseorang di bidang bisnis, dan hal tersebut tidak harus dikaitkan dengan latar belakang pendidikan.

Anggapan yang keliru lainnya adalah tentang kaitan antara perguruan tinggi dan dunia kerja (karir). Banyak siswa yang menganggap lulusan perguruan tinggi sudah pasti akan memperoleh karir yang mapan dan sekaligus berarti upah yang tinggi. Ketahuilah, jika kita hidup di era 20 atau 30 tahun saat orang tua kita bersekolah dulu mungkin anggapan tersebut memang benar. Akan tetapi, era globalisasi yang menuntut kualitas dan kapabilitas hari ini tidak berkata demikian, kondisi saat ini mengharuskan persaingan yang sangat ketat. Ada banyak sarjana di republik ini yang harus menanggalkan ijazahnya  (yang mungkin lulus dengan predikat “cumlaude”) setelah kalah dalam “kompetisi.”  Hal ini terjadi karena pertumbuhan angkatan kerja setiap tahun selalu lebih besar ketimbang kebutuhan tenaga kerja (lowongan kerja). Pilihan studi juga terkadang tidak selalu menentukan bidang karir seseorang. Semua tergantung dari rezeki dan kemampuan memanfaatkan setiap peluang.

Ada orang bijak yang mengatakan, “pilihan pada masa mudamu akan menentukan kehidupan di masa tua mu.” Kalau begitu, artinya pilihan-pilihan aktivitas akademik dan pengembangan diri yang ditawarkan kepada kita pada masa sekolah menjadi sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan kita ketika beranjak dewasa atau ketika meniti dunia karir. Karena itu berikut disampaikan beberapa pandangan yang mudah-mudahan bisa membuka cakrawala berpikir adik-adik yang masih bersekolah, agar kelak tidak salah melangkah ataupun menyesal di kemudian hari.

Pertama, tetapkan dulu cita-citamu. Mau jadi apa kamu di masa depan? Jika kita sejak awal telah menetapkan cita-cita, maka kelak akan memudahkan kita dalam menentukan program studi (pada saat SMA maupun saat mendaftar di perguruan tinggi). Pilihan-pilihan kita dalam mengembangkan diri pun akan disesuaikan dengan cita-cita tersebut. Maksudnya, segala aktivitas yang kira-kira akan berkaitan atau menunjang studi yang kita minati. Upayakan agar cita-cita kita tidak berubah di tengah jalan, karena itu saat menentukan cita-cita hendaknya menimbang terlebih dahulu kemampuan dan bakat kita, jangan terlalu ambisius atau malah sebaliknya, terlalu pesimistis.

Kemudian, buang jauh-jauh anggapan bahwa lulus perguruan tinggi atau program studi favorit adalah satu-satunya sarana menuju kesuksesan. Anggapan itu justru akan menimbulkan pemahaman bahwa perjuangan telah usai ketika telah memperoleh kursi di perguruan tinggi, seolah-olah pintu menuju kesuksesan telah terbuka lebar di depan mata. Ingat! Sistem pendidikan kita masih berorientasi aspek kognitif, kamu bisa saja lulus di PT terkemuka tapi gagal dalam dunia kerja. Kenapa? Karena dunia karir tidak lagi mengutamakan aspek kognitif melainkan ketekunan, kreativitas, sikap dan tingkah laku. Karenanya, mari kita anggap saja perguruan tinggi sebagai kendaraan menuju kesuksesan, tetapi bukan satu-satunya sarana. Perjuangan pun belum usai, meski telah mendapatkan titel mahasiswa.

Sebagian besar ilmu yang diperoleh semasa menempuh sekolah dasar hingga menengah atas nyatanya tidak banyak dipergunakan dalam kehidupan. Ilmu yang diterima semasa sekolah dasar hanya sebagai pengantar untuk memahami pelajaran semasa sekolah menengah, begitu pun seterusnya sampai masuk ke jenjang perguruan tinggi. Pada akhirnya kita hanya memilih satu bidang studi, fokus mempelajari dan mendalaminya sampai mendapatkan gelar sarjana. Ketika lulus kita telah berusia 23 tahun.  Taruhlah usia 25 tahun ketika saatnya kita mulai meniti karir (2 tahun awal pasca lulus perguruan tinggi biasanya diisi untuk mencari pengalaman kerja). Kalau usia pensiun rata-rata saat 55 tahun, berarti usia produktif kita untuk berkarya hanya 30 tahun saja.

Dari 30 tahun bekerja, dikurangi hari libur dan cuti taruhlah berkurang 2 tahun, jadi hanya 28 tahun saja waktu kita untuk bekerja. Lalu saat bekerja apakah setiap saat kita terus bekerja? Tentu tidak, pastilah ada potongan untuk istirahat dan makan siang minimal 1 jam dari setiap 7 jam kerja (rata-rata) per hari. Lalu, dari total keseluruhan waktu produktif tersebut apakah semua aspek pekerjaan kita itu membutuhkan ilmu yang kita peroleh semasa menempuh pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi? Jawabannya jelas tidak. Jika kamu menempuh karir di bidang jasa (baik itu finansial, kesehatan, hukum, dll), ilmu dasar yang kamu peroleh di perguruan tinggi akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kemampuan untuk memahami dan membangun kepercayaan kepada klien. Jika kamu bekerja di sebuah korporasi atau institusi yang memiliki jenjang rekrutmen, kecerdasan dan keterampilan yang kamu miliki tidak berarti sama sekali jika kamu tidak memiliki kemampuan lobi untuk mendekati atasan. Bahkan, jika kamu lulusan sekolah bisnis dan punya banyak warisan sekalipun, untuk memimpin sebuah perusahaan yang kamu dirikan, kemampuan untuk memimpin adalah syarat mutlak, dan hal tersebut  tidak dipelajari di ruang kelas.

Lalu dimanakah kemampuan-kemampuan itu bisa kita raih? jawabannya ada pada ekskul dan organisasi sekolah. Mengapa? Karena dengan berorganisasi, seluruh pengalaman yang kelak akan dihadapi semasa meniti karir akan dirasakan lebih awal saat berorganisasi. Ketika kita telah terbiasa dengan iklim berorganisasi, maka kelak setelah tiba waktunya untuk memasuki dunia kerja, kita tak lagi kesulitan. Tak hanya itu, berbeda dengan keterbatasan penerapan ilmu yang kita dapatkan saat menempuh pendidikan sekolah maupun perguruan tinggi, pengetahuan dan pengalaman berorganisasi sebagian besar dipergunakan semasa menjalani hidup. Tidak percaya?

Katakanlah kelak nanti kalian akan menikah dan membangun sebuah keluarga. Sadarkah kalian bahwa keluarga adalah sebuah unit organisasi? Di dalamnya ada sistem pembagian kerja, ada mekanisme pemberian penghargaan atas tercapainya sebuah prestasi atau hukuman ketika terjadi pelanggaran atas aturan yang telah disepakati. Di dalamya juga ada sebuah musyawarah (biasanya berlangsung saat makan malam di meja makan) untuk menentukan berbagai hal, mulai dari distribusi anggaran untuk berbagai keperluan sampai hal-hal sederhana yang selalu mengisi hangatnya kehidupan keluarga. Sadarkah kalian bahwa semua itu juga berlangsung pada sebuah organisasi? Sebaliknya, kita tidak mungkin mendiskusikan kemungkinan diterapkannya hukum archimedes pada teknologi kapal selam terbaru, kemungkinan diciptakannya mesin waktu dengan teori relativitas, atau apakah pertumbuhan ekonomi berpengaruh pada pembukaan lapangan pekerjaan baru saat makan bersama dengan keluarga. Karena semua diskusi itu hanya memungkinkan untuk berlangsung di ruang sempit, yang disebut pekerjaan.

Belum lagi ketika kalian akan hidup bertetangga dalam sebuah lingkungan, apakah kalian pikir bisa  terlepas dari pengaruh organisasi? Bahkan satuan lingkungan terkecil juga merupakan organisasi. Intinya, semua aspek kehidupan kita tidak akan pernah lepas dari yang namanya organisasi dan oleh karena itu alangkah kasihannya kalian yang masih menganggap berpartisipasi di ekskul dan organisasi sekolah sebagai suatu hal yang ga penting atau ga guna. Memang, hari ini belum kelihatan dampak berorganisasi itu, tapi kelak 10 tahun yang akan datang jangan heran kalau rekan sekelas kamu yang dulu sibuknya bukan main mengurus organisasinya akan menjadi para pemimpin di perusahaan-perusahaan besar atau mendapatkan posisi strategis di pemerintahan. Masi ga percaya juga ?

Recent Post