Rabu, 17 Mei 2017

Kisah Keturunan Jenghis Khan Pertama Yang Memeluk Islam

Rasa geram merasuki pikiran Hulagu. Ia tak habis pikir dengan upaya penghadangan yang dilakukan oleh pasukan Golden Horde di bawah komando saudara sepupunya, Berke Khan terhadap pasukan Il-Khanate miliknya. Saat ini, Hulagu Khan hendak mereorganisasi Mongol dalam upaya untuk merebut Mesir setelah kekalahan dalam Pertempuran Ain Jalut. Namun, akibat pengkhianatan yang dilakukan oleh Berke, Hulagu terpaksa mengarahkan perhatiannya dari Syiria dan Mesir sementara waktu.

Berke  dan Hulagu adalah cucu dari pendiri Kekaisaran Mongol Agung, Jenghis Khan. Berke merupakan anak dari Jochi, putra pertama Jenghis, sedangkan Hulagu ialah anak dari Tolui, putra keempat Jenghis. Sepeninggal Jengis Khan, wilayah-wilayah taklukkan Mongol dibagi kepada empat anaknya, Jochi, Jaghatai, Ogodei, dan Tolui, serta saudara Jenghis Khan. Kedudukan Khan Agung, pemimpin tertinggi, dikuasai oleh Ogodei, putera ketiga Jenghis Khan yang memerintah antara 1229-1241 M serta garis suksesi keturunannya.

Golden Horde Flag
Saudara tertua Hulagu, Mongke Khan sempat menduduki posisi Khan Agung antara 1251-1259 M. Posisi Khan atas Golden Horde yang saat itu masih diduduki oleh saudara tertua Berke, putra tertua Jochi, yakni Batu Khan tercatat merupakan suporter utama pencalonan Mongke. Batu Khan memerintahkan Berke untuk pergi mewakilinya dalam pemilihan tersebut di pusat kekuasaan Mongolia. Dengan demikian, keberhasilan Mongke menduduki tahta tak lepas dari peran Berke dan Golden Horde.

Namun kini, kedua saudara sepupu itu saling bertemu di medan pertempuran untuk suatu alasan yang sangat prinsipil. Berke adalah seorang Muslim. Ia diketahui telah menjadi muslim sejak prosesi pemilihan Mongke sebagai Khan Agung, dimana ia memerintahkan penyembelihan hewan yang akan dimasak sebagai sajian harus dilaksanakan sesuai tuntunan syariat Islam. Beberapa sumber menyatakan bahwa Berke masuk Islam karena peran seorang sufi dari Khawarizmi bernama Saifuddin. Namun sumber lain yang berasal dari Islam menyatakan Berke telah memeluk Islam sejak ia masih kecil.

Wilayah Kekuasaan Golden Horde Pada Puncak Kejayaannya
Para sejarawan Muslim memandang keislaman Berke sebagai keislaman yang baik. Di bawah instruksinya, satuan-satuan militernya senantiasa mematuhi syariat Islam. Seorang pendeta Fransiskan, Wiliam Rubruck yang melakukan perjalanan ke wilayah kekuasaan Mongol bersaksi bahwa Berke tidak mengizinkan babi dimakan dalam kemah-kemah pasukannya.

Berke diketahui telah menyertai peperangan bersama Bangsa Mongol sejak era kakeknya, Jenghis Khan berkuasa. Saat sang ayah Jochi meluaskan penaklukkan bangsa Mongol hingga ke Eropa timur, Berke pun ikut serta. Sepeninggal Jochi, wilayah taklukkan yang kemudian disebut sebagai Golden Horde itu kemudian dipimpin oleh Batu, putera pertama Jochi, saudara Berke. Pada tahun 1255 M, Batu wafat dan garis suksesi beralih kepada sang anak bernama Sartaq. Setelah menerima pengangkatan dari Mongke, Sartaq meninggal dalam perjalanan kembali ke Golden Horde di kawasan Volga. Mongke kemudian menunjuk anak Sartaq (sumber lain menyebutkan saudaranya) bernama Ulaghchi. Namun ia juga meninggal dunia tak lama setelah dilantik. Maka kepemimpinan Golden Horde pun otomatis beralih ke tangan Berke pada tahun 1257 M.

Pada tahun 1258 M, Hulagu berhasil meluaskan ekspansi kekuasaan Mongol hingga ke Baghdad. Ia memerintahkan pembunuhan atas Khalifah Abassiyah ketika itu, Al Musta’sim.  Namun, belum cukup sampai disitu, Hulagu ingin terus melebarkan penaklukkan Mongol hingga Syiria dan Mesir.
Beberapa saat setelahnya, Syiria pun jatuh tanpa perlawanan berarti. Ia sudah bersiap dengan pasukan untuk merebut Mesir, sebelum akhirnya datang berita tentang wafatnya Mongke yang mengharuskannya kembali ke pusat Mongolia untuk melakukan pemilihan Khan Agung selanjutnya. Ia menyerahkan tugas kepada Kitbuga, jenderal terbaiknya untuk menaklukkan Mesir. Namun ia harus kecewa karena Kitbuga berhasil dikalahkan oleh Tentara Mamluk di Ain Jalut.

Kini impian Hulagu menaklukkan seluruh wilayah Islam kembali terhalang oleh pengkhianatan sepupunya. Berke diketahui marah besar karena perlakuan Hulagu dan tentaranya saat mereka menghancurkan Baghdad, Ibu Kota Kekhalifahan Islam. Ia menuntut pembalasan dendam atas hancurnya peradaban Islam yang dilakukan Hulagu. Itulah alasan mengapa Hulagu pertempuran antar saudara ini harus terjadi.

Hulagu memaksa kudanya untuk melaju kencang menuju utara bersama pasukan kavaleri Il-Khanatenya. Setibanya di Sungai Terek, Hulagu dan pasukannya telah selesai menyeberangi sungai itu sebelum mereka akhirnya dikejutkan oleh serangan mendadak dari Nogai, anggota keluarga dan salah satu Jenderal Berke. Serangan tersebut memaksa Hulagu dan pasukannya menyeberangi kembali Sungai Terek yang saat itu sedang membeku oleh musim dingin. Namun kali ini banyak pasukan Hulagu yang terjerembab ke dalam sungai dan tenggelam karena lapisan es sungai itu pecah oleh hentakan tapak-tapak kuda mereka. Hulagu mengalami kekalahan pada pertempuran tersebut dan terpaksa kembali ke wilayah kekuasaannya di Persia.


Setelah persitiwa itu Hulagu menghapus impiannya untuk menaklukkan Mesir, sehingga ancaman terhadap dunia Islam pun berakhir. Perseteruan antara Golden Horde dan Il-Khanate terus berlangsung sejak saat itu, meskipun Berke dan Hulagu. telah wafat. Golden Horde kemudian menyatakan pemisahan diri dari pemerintah pusat Mongolia dan mendirikan dinasti yang bertahan hingga abad ke-15 M. Sedangkan Il-Khanate, sedikit demi sedikit mengalami Islamisasi, hingga seorang Khan yang beragama Islam pertama, Ahmad Tegude, putra dari Hulagu naik tahta pada 1282 M.

Titik Balik - Spring Goliath


Pada suatu masa dunia Islam pernah berada pada titik nadir. Pada era dimana konflik internal merebak dan para penguasa saling berebut kuasa. Sementara kekuatan Eropa di Barat dan Mongol di timur seolah tengah bersatu, merangsek setapak demi setapak tanah kaum Muslimin, Pada era tersebut, Allah mengirimkan seorang pria yang dilahirkan dengan satu misi besar, yakni menghentikan laju ekspansi Bangsa Mongol, sekali dan untuk selamanya. Pria itu bernama Saifuddin Qutuz, ia adalah Sultan dari sebuah ordo militer para budak yang dikenal selama berabad-abad menjadi tameng pelindung Kekhalifahan Islam, Kesultanan Mamluk.

Sebelum berada pada posisinya saat ini, Qutuz juga sempat merasakan kehidupan sebagai seorang budak. Tentara Mongol mengambilnya saat mereka merebut Kesultanan Khawarizmi, membawanya mengarungi Syiria sebelum akhirnya seorang bernama Aybak yang berasal dari Kairo membelinya dan membawanya ke Mesir untuk dididik secara militer. Konon Qutuz merupakan keturunan langsung dari Sultan Alauddin Muhammad II, Sultan Negeri Khawarizmi.

Aybak sendiri diketahui merupakan Sultan Mamluk pertama, ia juga mewarisi darah bangsa Turki sebagaimana Qutuz. Faktanya, hampir seluruh tentara Mamluk berasal dari Suku Turki Oghuz yang pada abad 11 M berhasil merebut daratan Anatolia (saat ini negara Turki) dan mendirikan Kesultanan Seljuk Agung. Kekhalifahan Abbasiyah memanfaatkan Bangsa Turki yang dikenal sangat tangguh di medan perang saat mulai membentuk konsep tentara regulernya. Konsep tentara regular ini menggantikan konsep kesertaan terbuka bagi seluruh muslim untuk ikut berpartisipasi dalam perang saat khalifah menyerukan jihad seperti tradisi yang dilakukan selama ini.

Pada Bulan Februari 1258 M, Mongol berhasil merangsek Baghdad dan meleyapkan setiap yang bernyawa di pusat peradaban Islam tersebut, termasuk sang Khalifah, Al Musta’sim. Di bawah komando Hulagu Khan, Cucu dari Jenghis Khan, Baghdad tidak hanya dikuasai, tetapi juga diluluh-lantakkan. Hulagu memerintahkan untuk meleyapkan seluruh isi perpustakaan bersejarah, Baitul Hikmah yang menghimpun karya akumulatif dari para ilmuwan Islam yang dikerjakan selama abad-abad keemasan Islam.

Kini, Qutuz dan pasukan Mamluknya tengah berhadapan langsung dengan kekuatan musuh di Medan pertempuran. Di sebuah padang rumput sebelah utara kota Jerusalem, Ain Jalut, peristiwa bersejarah yang telah ditakdirkan Allah itu pun terjadi. Sebanyak 12 ribu detasemen Mongol dibantu oleh 500 tentara Sisilia Armenia dan Kontingen Lokal Kerajaan Georgia berada dalam komando salah satu jenderal paling bengis Mongol yang ikut menghancurkan Baghdad, Kitbuga. Hulagu Khan tidak menyertai pasukan ini dikarenakan ia harus kembali sementara ke pusat kekuasaan Mongolia untuk mengikuti pemilihan Khan Agung pasca wafatnya saudara kandungnya, Mongke Khan.

Ain Jalut, Palestina
Qutuz disertai 20 ribu mamluknya jauh lebih menguasai medan pertempuran, karena mereka tengah bertempur tepat di tanah kaum Muslimin. Hal ini menjadi faktor kunci yang mengantarkan kemenangan bagi umat Islam. Dua pasukan bertempur selama berjam-jam, Jenderal Mamluk, Baibar menggunakan taktik hit-and-run untuk memprovokasi pasukan Mongol, sementara ia tetap membiarkan sejumlah pasukannya tetap utuh di balik bukit. Ketika Kitbuga melihat pasukan Mamluk melarikan diri ke arah perbukitan, ia melakukan kesalahan dengan mengerahkan seluruh pasukannya, sementara di sana kavaleri Mamluk telah menunggu untuk mengepung Mongol dari segala penjuru.

Lokasi pertempuran pasukan Mamluk-Mongol

Hari itu, 3 September 1260, bertepatan dengan bulan Ramadhan, Sultan Saifuddin Qutuz berhasil memukul mundur invasi terbesar dalam sejarah umat manusia. Ia berhasil mematahkan mitos invisibilitas Mongol yang dikenal selalu menang dalam tiap peperangan. Bencana serangan Mongol dipandang oleh umat Islam kala itu sebagai perwujudan dari hadist Rasulullah SAW tentang Yajuz dan Majuz yang dikenal dalam eskatologi apokaliptik dalam Islam. Sejak pertempuran Ain Jalut, Mongol tidak pernah melanjutkan penaklukkan mereka terhadap negeri-negeri Islam lain yang tersisa, seperti Jazirah Arab, Mesir, Afrika Utara, dan Andalusia. Mereka berhasil dihentikan oleh seorang sultan yang berasal dari budak.

Islam di Utara Bumi

Selama berabad-abad, Islam menyebar dari Semenanjung Arabia ke seluruh dunia, hingga menembus batas-batas geografis yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Tidak ada yang menyangka, bahkan mungkin oleh sebagian besar Muslim sendiri, bahwa di belahan utara bumi, tepat di jantung daratan Rusia, hanya 800 KM dari Moskow, pernah berdiri sebuah negeri Islam bernama Volga Bulgaria. Sebuah negeri yang dibangun di antara Sungai Volga dan Sungai Kama yang pernah eksis antara abad ketujuh hingga abad ketigabelas Masehi.

Suku Bulgaria diketahui berpindah dari wilayah Azov sekitar 660 M dibawah komando seorang Khagan dari Kazar bernama Kotrag. Mereka tiba di Idel-Ural pada abad kedelapan, dimana mereka kemudian menjadi penduduk yang paling dominan di kawasan itu hingga akhir abad kesembilan. Mereka berhasil menyatukan pelbagai suku yang berasal dari tempat yang berbeda-beda. Beberapa Suku Bulgar diketahui melanjutkan migrasi hingga mereka sampai ke kawasan Sungai Danube di Balkan yang saat ini dikenal sebagai negara Bulgaria modern.

Volga Bulgaria mengadopsi Islam pada 922 M, sekitar 66 tahun sebelum Rusia menjadi Kristen. Pemimpin mereka, Almis, pada tahun 921 mengirimkan dutanya kepada Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, meminta sang khalifah mengirimkan guru yang dapat mengajarkan mereka tentang keislaman. Setahun kemudian, sang duta tiba dengan membawa Ibn Fadlan, seorang ahli hukum Islam yang ikut bersama sang duta atas perintah khalifah. Suku Bulgar bahkan pernah mencoba membujuk Vladimir I dari Kiev untuk menerima Islam pula, namun Vladimir menolak gagasan bahwa Bangsa Rusia harus berhenti meminum anggur. Baginya anggur ialah “hal yang paling menyenangkan dalam hidup,” sedangkan Islam melarang hal itu.

Utusan Khalifah Abbasiyah sampai di Volga
Negeri Volga Bulgaria yang menguasai jalur perdagangan diantara Eropa dan Asia sebelum era Perang Salib merupakan negeri yang sangat makmur. Ibu kotanya, Bolghar merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang bersaing dengan sejumlah kota besar Islam dari sisi luas dan kekayaan. Mitra dagang Bolghar ialah Viking, Bjarmland, Yugra, dan Nenet di utara, Baghdad dan Konstantinople di selatan, Eropa di Barat, hingga Cina di Timur. Namun kejayaan dan kedamaian di negeri tersebut tidak berlangsung selamanya.

Pada September 1223 di dekat Samara, pasukan penjelajah Jenghis Khan di bawah komando Uran, anak dari Subuti Bahadur memasuki Volga. Mereka berhasil dikalahkan oleh tentara Volga Bulgaria. Namun hal itu mendorong terjadinya invasi lebih besar dari Bangsa Mongol. Pada tahun 1236 M Mongol pun kembali, dan kali ini berhasil meluluh-lantakkan negeri tersebut. Diperkirakan hampir 80% populasi di wilayah tersebut terbunuh selama lima tahun pertama berkuasanya bangsa Mongol. Volga Bulgaria kemudian dianeksasi oleh Mongol sebagai bagian dari Wilayah untuk para keturunan Jochi. Jochi merupakan anak pertama Jenghis Khan, yang belakangan memperoleh bagian wilayah paling jauh dari pusat kekuasaan Mongolia di Asia. Negeri Jochi dan anak keturunannya disebut sebagai Golden Horde, yang meliputi Moskow, Kiev, Hungaria, dan Polandia.

Belakangan, bangsa Mongol ter-Islamisasi. Suatu fenomena yang sangat aneh, mengingat secara teori, bangsa yang berhasil menaklukkan harusnya memaksakan sistem, budaya, dan kepercayaannya kepada bangsa yang ditaklukkan. Tetapi yang terjadi pada Bangsa Mongol ketika berhasil menguasai wilayah-wilayah Islam adalah sebaliknya, mereka mengadopsi Islam dan meninggalkan Tengri, kepercayaan shamanisme yang telah dianut oleh nenek moyangnya.

Penguasa Golden Horde merupakan khanate pertama memeluk Islam. Pada periode ini mulai terjadi percampuran ras antara Bangsa Bulgaria yang Kaukasoid dengan Bangsa Tatar yang Mongoloid. Kesamaan agama menjadi faktor pendorong cepatnya proses percampuran ras melalui perkawinan. Itulah mengapa kawasan Volga Bulgaria kemudian dikenal sebagai Tatarstan, meskipun kini warga lokal tidak begitu suka disebut sebagai Tatar, sebab asal-muasal mereka ialah Suku Bulgar.

Golden Horde kemudian pecah pada abad 14 menjadi sejumlah kekhanan (khanate), salah satunya ialah Kazan Khanate yang berdiri pada 1430-an M. Kazan merupakan suksesor Golden Horde yang paling berhasil menjaga indepensinya, sedangkan khanate lainnya menjadi subjek kekuasaan lain. Khanate Krimea misalnya yang kemudian menjadi vasal dari Turki Ottoman.

Pada 1552 M, Tsardom Muscovy (Moskow) di bawah komando Ivan The Terrible yang bertekad untuk menyatukan seluruh daratan Rusia berhasil menguasai Kazan. Pengaruh Rusia pun mulai merebak. Kristen Ortodoks mulai diperkenalkan kepada warga Volga. Tidak pernah ada negeri Islam independen lagi yang muncul di kawasan Volga sejak saat itu. Volga tetap menjadi subjek Tsardom Russia hingga revolusi Bolhevik. Namun, Islam dan Kristen diketahui hidup rukun berdampingan dengan damai di wilayah tersebut.

Pasca runtuhnya Uni Soviet tahun 1991, kehidupan relijius kembali digalakkan dan restorasi sejumlah situs yang menjadi bagian dari sejarah Bangsa Volga Bulgaria masa lalu kembali diangkat, termasuk ibu kota Volga Bulgaria kuno, Bolghar. Kini, wilayah Volga Bulgaria dikenal sebagai Republik Tatarstan, salah satu negara bagian Federasi Rusia. Ibu Kotanya ialah, Kazan, kota metropolitan terbesar ketiga di Rusia setelah Moskow dan St. Petersburg.


Sejumlah situs warisan sejarah Islam masih dapat kita temui di sana, bersamaan dengan sejumlah bangunan monumental yang dibangun pada era modern. Masjid Kul Sharif di Kremlin (pusat) kota Kazan merupakan salah satu bangunan monumental hasil restorasi bangunan masjid lama yang dahulu pernah ada sebelum penaklukkan Rusia. Masjid ini merupakan masjid terbesar di Eropa yang beberapa tahun lalu sempat menghebohkan netizen di media sosial karena sebuah video yang diunggah memperlihatkan banyaknya jumlah umat yang shalat jum’at berjamaah di masjid tersebut. Fenomena itu seolah menjadi titik balik kebangkitan Islam di Rusia, pasca runtuhnya rezim komunis yang dikenal represif terhadap segala simbol keagamaan.

Masjid Sharif Khol, Kazan, Republik Tatarstan


Senin, 08 Mei 2017

Seruan Jihad Yang Terakhir

Sore itu hujan deras dan awan hitam pekat meliputi langit Istanbul, sesekali petir menyambar dengan kerasnya. Sultan Mehmed berdiri di depan kaca balkon istana Dolmabahce, menghadapkan pandangan matanya ke arah selat Bosphorus yang berada tak jauh dari pelataran Istana megah bergaya campuran Neo-Klasik dan Turki yang dibangun setengah abad yang lampau. Ia kesulitan mengenali kapal-kapal yang sedang berlayar melintasi selat oleh karena pandangan mata terbatas oleh kabut tebal. Namun sore itu, bukan hanya pemandangan Istanbul saja yang suram, melainkan masa depan seluruh kesultanan Ottoman.

Protes Massa Akibat Pendudukan Tentara Sekutu di Istanbul

Pasukan Inggris telah mendarat di Basrah, merangsek masuk hingga merebut Baghdad dan seluruh Mesopotamia. Sedangkan di front barat, korp militer Afrika milik imperium tersebut berhasil menguasai Palestina, termasuk kota suci Jerusalem. Bahkan di Anatolia sendiri, pasukan Armenia yang didukung oleh kekuatan sekutu berhasil melakukan serangan balasan terhadap tentara Ottoman. Namun, diantara semuanya tak ada yang lebih menyakitkan dari pada tusukan pisau pengkhianatan yang dilakukan oleh bangsa Arab, saudara sesama Muslim, yang memilih untuk mendukung Inggris dan menyatakan pemberontakan terhadap kekhalifahan di wilayah Hejaz hingga Iraq dan Levant.

Pasukan Imperium Inggris
Kekalahan sudah hampir di depan mata. Kekuatan Entete yang mengikat aliansi Turki dengan Jerman, Kekaisaran Austro-Hunggaria, dan Bulgaria mengalami kekalahan di hampir seluruh medan pertempuran, meskipun sempat memperoleh sejumlah kemenangan kecil. The Great War, merupakan perang skala global pertama dalam sejarah manusia yang melibatkan 70 juta personil militer, menyebabkan hilangnya hampir 9 juta nyawa manusia, serta melukai puluhan juta lainnya. Belum pernah ada peperangan yang sedemikian dahsyatnya hingga mengurangi populasi manusia di muka bumi sebesar itu. Diperkenalkannya mesin-mesin pembunuh di era modern, pesawat terbang, dan senjata kimia dalam peperangan merupakan beberapa alasan diantaranya.

Kapal Selam Inggris Berlabuh
Sultan Memed masih ingat, empat tahun sebelumnya, ketika ia menyerukan deklarasi jihad, suatu pernyataan perang yang dalam syariat Islam hanya dimiliki secara otoritatif oleh seorang khalifah. Saat itu merupakan awal terlibatnya Ottoman dalam Perang Akbar melawan kekuatan sekutu, yang terdiri dari Inggris, Perancis, Italia, dan Rusia. Ia masih ingat ketika tentaranya dengan gagah berani mempertahankan selat Dardanella dari serangan kekuatan gabungan Inggris dan tentara koloni India (Gurkha) bersama dengan korp Australia dan Selandia Baru (ANZAC) dalam palagan Galipoli. Selat tersebut ialah pintu untuk menguasai laut Marmara, selat Bosporus dan pada akhirnya Istanbul sendiri dengan tujuan memberi ruang bagi armada Rusia di Laut Hitam untuk dapat menyalurkan logistik kepada pihak sekutu. Turki menang dengan telak dalam pertempuran itu, dan berhasil memukul mundur Inggris kembali ke Laut Mediterania. Hal ini merupakan sebuah awal yang optimistik bagi Sultan Mehmed.

Menyandang nama ‘Mehmed’ merupakan suatu tanggungjawab yang berat bagi Sultan. Leluhurnya, Mehmet II dikenal sebagai ‘Fatih’ atau penakluk setelah berhasil menggenapi hadits Rasulullah SAW menaklukkan Konstantinopel dari Kerajaan Byzantium. Sultan Mehmed V mengira ia akan mampu melakukan hal yang sama dengan leluhurnya. Walaupun tidak menaklukkan kota yang monumental di Eropa, setidaknya ia ingin mengembalikan negeri-negeri Balkan atau merebut Krimea kembali ke tangan Ottoman. Suatu target realistis, mengingat Ottoman sedang berada pada titik paling terlemah dalam sejarahnya, hingga dijuluki sebagai ‘the sick man of Europe.’ Namun kini, sore kelabu di Istanbul seolah mewakili masa depan Ottoman. Inggris dan sekutunya telah merebut hampir seluruh ibu kota Islam. Kairo, Baghdad, Damaskus, bahkan kota suci Mekah, Madinah, dan Jerusalem. Tinggal menunggu waktu hingga Istanbul pun bernasib serupa.

Parade barisan tentara sekutu memasuki ibu kota Istanbul
Pada bulan Juli 1918, Sultan Mehmed V mangkat, empat bulan sebelum berakhirnya perang. Ia tak sempat menyaksikan detik-detik jatuhnya Ottoman. Dengan langkah tegap tentara sekutu berbaris memasuki Istanbul, ibu kota kekhalifahan Islam pada 13 November 1918. Sebuah tindakan yang harus dilakukan oleh tentara gabungan Inggris, Perancis, Yunani dan Italia sebagai pernyataan simbolik yang menyatakan berakhirnya partisipasi Ottoman dalam Perang Dunia sebagai pihak yang dikalahkan.


Setelah kalah perang, posisi kekhalifahan berangsur-angsur melemah seiring dengan berubahnya sistem politik di Turki dari kesultanan menjadi republik oleh gerakan revolusioner kaum nasionalis. Jabatan kekhalifahan pun pada akhirnya benar-benar dihapuskan pada 3 Maret 1924 oleh Majelis Nasional Republik Turki.

The Union Jack berkibar di atas menara Galata


Last Day of The Sharif

Jeddah, Desember 1925 M.

Setelah jatuhnya Mekah ke tangan Ibn Saud, sudah tidak ada harapan bagi Ali bin Hussain untuk mempertahankan kekuasaan Wangsa Hasyim di tanah suci. Dalam waktu dekat, seluruh Hejaz akan bertekuk lutut di hadapan Saud bersama dengan para ikhwan-nya. Selama beberapa minggu, Ali telah memerintahkan pasukannya untuk memperkuat pertahanan di seputar kota dan menaruh beberapa ranjau, ia juga membeli lima buah pesawat dari Itali untuk memperkuat dua pesawat miliknya yang sudah tua, serta membeli beberapa tank dari Jerman. Ia telah meminta bantuan kepada kedua kakaknya, Raja Abdullah dari Transjordan dan Raja Faisal dari Iraq, namun suplai yang melewati daerah Aqaba bergerak sangat lambat karena takut dihadang oleh pasukan Ibn Saud.

Suku-suku di seluruh Hejaz telah bersumpah setia kepada Ibn Saud. Mereka memang sudah lama muak dengan rezim Hasyim yang hidup bergelimang harta, tapi membiarkan rakyatnya miskin dan kelaparan. Kejatuhan benteng terakhir Hasyim sudah semakin dekat pikir Ali, tidak ada yang bisa dipertahankan dari Jeddah, Ibn Saud akan menguasai seluruh Hejaz dan mungkin seluruh jazirah Arab tanpa terkecuali.

Wangsa Hasyim merupakan pemilik otoritas atas kota suci Mekah sejak hampir sepuluh abad lamanya. Sang pemimpin dikenal dengan sebutan Syarif Mekkah, yang bertugas melindungi kota suci dan memfasilitasi para jamaah haji yang datang dari seluruh negeri Muslim. Leluhur tertua klan ini ialah Hasyim Bin Abdul Manaf, kakek buyut dari Rasulullah SAW. Nasab dari klan ini berasal dari Hasan bin Ali, cucu dari Rasulullah.

Ali tidak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi penguasa Hejaz terakhir yang berasal dari klan Hasyim. Padahal para leluhurnya selalu diberikan kehormatan oleh para penguasa Islam untuk mengelola kota suci Mekah. Sejarah mencatat, meskipun secara nominal Hejaz dikuasai oleh penguasa yang berbeda-beda silih berganti, dimulai dari Dinasti Fatimiyah, Ayubid, Mamluk, dan terakhir Ottoman, kunci Ka’bah tetap dipegang oleh keturunan klan Hasyim. Bahkan pada era Ottoman, mereka memperbesar wilayah otoritasnya ke utara hingga kota suci Madinah dan ke selatan hingga ke Asir.

Kekuasaan klan Hasyim tidak pernah mengalami perubahan yang demikian drastis hingga ayahnya, Syarif Hussein bin Ali memutuskan untuk mengambil manuver politik yang kelak akan disesali oleh keluarganya, serta menjadi bahan cemoohan dari seluruh kaum Muslim. Ayahnya merencanakan sebuah plot bekerjasama dengan Kantor Urusan Luar Negeri Inggris untuk mengadakan pemberontakan terhadap Kekhalifahan Ottoman.

Pada Perang Dunia I, Ottoman berada di pihak Jerman melawan kekuatan sekutu yang dimotori oleh Inggris. Inggris memang membutuhkan sekutu untuk melemahkan kontrol kekhalifahan di semenanjung Arab. Mereka mengutus T.E. Lawrence atau yang lebih dikenal sebagai Lawrence of Arabia untuk membantu Syarif Hussein melawan Ottoman. Mereka berhasil memukul mundur pasukan Turki hingga ke Levant. Syarif Hussein yang memiliki hasrat untuk menjadi Raja atas seluruh tanah Arab kemudian ternyata harus dikecewakan oleh Inggris yang diam-diam menyepakati perjanjian dengan Perancis yang meminta kontrol atas kawasan yang kini dikenal sebagai negara Syria dan Lebanon.

Ali of Hejaz
Ali menyadari kesalahan fatal lainnya yang dilakukan oleh sang ayah ialah memproklamirkan dirinya sendiri sebagai Khalifah bagi seluruh umat Islam pasca dibubarkannya Kekhalifahan Ottoman oleh gerakan Turki Muda di Istanbul. Suatu langkah yang kemudian dengan mudah dipakai oleh Ibnu Saud sebagai senjata melawan klan Hasyim, karena sang ayah dituduh telah mencuri gelar Khalifah. Kini tak ada lagi yang tersisa bagi bani Hasyim di Hejaz. Satu-satunya rencana yang akan dilaksanakan Ali ialah pergi meninggalkan Jeddah menuju Baghdad melewati laut merah.

Tepat pada 17 Desember 1925, Jeddah jatuh ke tangan Ibnu Saud yang kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai Raja Hejaz. Ia lantas menyatukan negeri Hejaz dan Nejed dalam satu negara yang kita kenal sekarang sebagai Saudi Arabia.

Kekuasaan Klan Hasyim di Iraq hanya berlangsung sampai 1958 ketika kelompok nasionalis Iraq berhasil mengkudeta Raja Faisal II dari tahta dan menggantinya dengan Republik Iraq. Satu-satunya negeri yang masih dikuasai oleh klan Hasyim ialah Yordania dengan Raja Abdullah II sebagai penguasanya saat ini.

Hashimete Flag

Khawarij Yang Cinta Damai

Tepat di mulut teluk Persia, sebelah tenggara dari gurun Rub’ al Khali, berdirilah sebuah negeri independen yang dikenal paling toleran dan paling damai di semenanjung Arabia, Kesultanan Oman. Di sini, mereka yang menganut agama non-Islam mendapatkan jaminan dari otoritas untuk menjalankan praktik keagamaannya tanpa diskriminasi apapun. Komunitas Hindu, Kristen Katolik, Koptik dan Protestan hidup rukun dan damai dengan mayoritas Islam. Kondisi ini mungkin terjadi oleh karena cara pandang orang Omani terhadap Islam yang mereka yakini.



Mayoritas penduduk Oman menganut Islam, tetapi bukan Sunni, bukan pula Syiah. Mereka adalah penganut Ibadi, sebuah aliran Islam yang asal-usulnya dikenal dalam dunia Islam sebagai kelompok Khawarij. Tidak banyak orang yang tahu tentang aliran ini, tidak pula di kalangan umat Islam sendiri. Yang jelas, selama berabad-abad eksistensi mereka nyata, tidak hanya di Kesultanan Oman sebagai penampung terbesar komunitas Ibadi, tetapi juga di sebagain Afrika Utara, Zanzibar, dan Tanzania.

Dalam sejarah Islam, Khawarij dikenal sebagai kelompok garis keras yang telah muncul pada era khalifah rasyidun ketiga, Utsman bin Affan. Mereka kemudian mendukung Ali hingga pada akhirnya menyatakan ketidaksepakatannya terhadap keputusan Khalifah Ali yang menerima arbitrase dalam Perang Shiffin dengan Muawiyah bin Abu Sufyan perihal sengketa kekhalifahan pada 37 H. Kelompok khawarij pada mulanya mendukung Kekhalifahan Ali, akan tetapi setelah arbitrase mereka memandang Ali telah murtad, karena dianggap telah berhukum selain dari hukum Allah.  Mereka lantas mengkafirkan Ali dan membunuhnya. Mereka juga hendak membunuh Muawiyah namun tidak memperoleh kesempatan.

Secara umum teologi Khawarij memandang pendosa besar telah kafir dan harus dibunuh. Bahkan mereka memandang seorang muslim yang tidak mau membunuh muslim lain yang dianggap kafir telah jatuh pada kekafiran pula. Bagi mereka seorang khalifah yang dianggap menyimpang dari syariat wajib diturunkan, bila perlu dipaksa dan dibunuh. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung ke kelompoknya, jika tidak, maka wajib untuk diperangi. Tentu saja kelompok Khawarij sudah tidak lagi eksis saat ini, Ibadi bisa dikatakan sebagai satu-satunya yang tersisa. Namun menarik untuk mengetahui bagaimana kelompok ini kemudian bertransformasi dan menganut teologi yang begitu toleran dan damai, jauh dari kesan Khawarij yang pernah dikenal dalam sejarah Islam?

Ternyata sejak mulanya, sekte ini memang tidak pernah benar-benar sama seperti Khawarij pada umumnya. Mereka disebut sebagai bagian dari kelompok Khawarij hanya karena tidak mengakui otoritas Kekhalifahan Utsman. Akan tetapi mereka tidak pernah sampai mengkafirkan atau bahkan sampai menghalalkan darahnya. Pada era berkuasanya Dinasti Umawiyah, kelompok ini bahkan pernah ‘digunakan’ oleh khalifah untuk menangkis pemikiran kelompok Khawarij arus utama yang menganut teologi garis keras.

Barulah setelah kematian petinggi kelompoknya, Jabir Bin Zaid mereka kehilangan pengaruh di lingkaran kekuasaan. Petinggi mereka selanjutnya, Abdullah Ibn Ibadh al Tamimi yang kemudian namanya dinisbatkan kepada kelompok ini tidak mendukung sang khalifah, sehingga kelompok Ibadi mengalami diskriminasi. Mereka pun memutuskan untuk menjauhi Basrah, pusat kekuasaan Islam kala itu. Beberapa dari mereka kemudian hijrah ke Hadramaut, Yaman, Zanzibar, Tunisia, Aljazair, Libya, Mesir dan Khurasan. Tetapi mayoritas mereka hingga kini tinggal di Nizwa, salah satu wilayah yang saat ini dikenal sebagai Oman.

Muscat, Oman 
Sebagai konsekuensi logis dari teologi Ibadi yang toleran, kehidupan masyarakat di Oman sangat jauh dari huru-hara seperti yang terjadi di negeri-negeri Timur Tengah lainnya. Kedamaian memberikan stabilitas dan rasa aman, sehingga berbuah pada kemajuan dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Musqat, sebagai ibukota kesultanan yang secara geografis berada di pinggir laut, merupakan salah satu pelabuhan multi-nasional yang penting di kawasan itu.

Ketika darah Tertumpah di Masjid al-Haram

Juhaiman menyadari bahwa belum pernah ada pria yang pernah melakukan misi ini sebelumnya. Sebuah misi suci yang akan meniadakan seluruh fitnah di muka bumi dan menyalakan ketentraman.

Menurutnya, Arab telah kehilangan jati diri. Masyarakat telah terserap oleh materialisme dan konsumerisme. Orang-orang membangun rumah mewah, penyiar berita di televisi tidak mengenakan hijab, musik  dihalalkan, dan bahkan orang-orang kafir kian banyak yang berdatangan ke negeri tersebut. Tidak ada lagi alasan untuk tetap berdiam diri selain harus segera bergerak. Ia benar-benar yakin atas apa yang hendak ditempuhnya, melenyapkan rezim jahat ini dan menegakkan kedamaian di seluruh semesta.


Rencana telah disusun matang. Tepat pada 1 Muharam 1400 H, masjid Al Haram akan menjadi saksi pembuktian nubuwat. Sebagaimana yang telah diwartakan oleh Rasulullah 13 abad sebelumnya, Allah berjanji akan mengirimkan seorang Mujadid pada setiap awal abad untuk mengoreksi penyimpangan yang dilakukan oleh umat dan mengembalikannya pada agama yang lurus. Juhaiman memiliki keyakinan yang mantap, bahwa dia dan kelompoknyalah yang akan menggenapi janji tersebut.

Ia dan para Ikhwan yang telah cukup berlatih menggunakan senjata siap melakukan misi ini. Mereka telah menyebar di segenap penjuru masjid dengan membawa sejumlah peti mati berisikan senjata api. Pihak otoritas tidak pernah memberlakukan pengawasan yang ketat pada jamaah yang hendak masuk karena tak mungkin ada seorang muslim yang pernah berpikir untuk membuat keonaran di dalam masjid Al haram. Haram menumpahkan darah di dalam masjid, sebagaimana masjid itu dinamakan.

Setelah pelaksanaan sholat Ashar, Juhaiman yang telah memposisikan diri tepat dibelakang imam menarik senjatanya dan mengambil-alih mikrofon secara paksa. Ia pun mulai berbicara kepada khalayak bahwa hari penghakiman semakin dekat, Saudi adalah seburuk-buruknya pemerintahan di dunia, mereka telah keluar dari agamanya, serta memproklamirkan telah tibanya Al Mahdi. Ia kemudian meminta seluruh muslim memberikan sumpah setia kepada sang Mahdi yang tak lain adalah kakak ipar Juhaiman sendiri.

Sebagian besar jamaah berasal dari Pakistan dan Indonesia. Mereka tidak begitu mengerti bahasa Arab. Selama hampir dua minggu mereka disandera di dalam masjid al Haram dengan perasaan ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Juhaiman menutup akses keluar masuk masjid tersebut, serta menempatkan sniper di tiap menara masjid, bersiap untuk membunuh siapapun yang mencoba untuk melarikan diri. Selama hampir dua minggu prosesi thawaf dan sholat berjamaah lima waktu sama sekali terhenti.

Tentara pun dikirimkan oleh pihak otoritas. Namun berbeda dari narasi yang tertuang dalam hadis tentang Al Mahdi, tentara-tentara yang dikirim oleh pemerintah Saudi itu tidak ditenggelamkan Allah di tengah padang pasir. Mereka justru berhasil menembus isolasi yang dilakukan oleh kelompok Juhaiman di masjid al Haram, meskipun harus dengan menggunakan senjata berat seperti tank dan granat.

Episode yang terjadi selanjutnya ialah adegan kekerasan. Pilihan manuver militer yang berlebihan harus dibayar mahal oleh pemerintah Saudi, diperkirakan ratusan jamaah terbunuh di masjid yang mestinya tidak diperkenankan adanya setetes darah pun tertumpah.

Juhayman al-Otaybi
Juhaiman pun akhirnya berhasil tertangkap, sedangkan kakak iparnya yang diklaim sebagai sang mahdi tewas. Ada rumor yang mengatakan bahwa Juhaiman sendiri yang menembaknya. Jumaiman kemudian dijatuhi hukuman eksekusi di depan publik karena tindakannya ini.

Setelah kematiannya,  tak sedikit orang mengaguminya. Dalam salah satu ceramahnya, Osama Bin Laden pernah menyatakan rasa simpati kepada Juhaiman. Baginya, Juhaiman adalah inspirasi untuk memperdalam agama sebelum ia bertempur di Afghanistan melawan Soviet. Bahkan, para syekh dan kolega Juhaiman di Universitas Madinah, universitas paling bergengsi di Saudi, juga memandangnya sebagai orang yang berada di jalan kebenaran. Meskipun harus dicatat, mereka tidak pernah menyetujui aksinya, apalagi membenarkan klaimnya seputar imam Mahdi.


Minggu, 07 Mei 2017

Game of Throne


Sejumlah dekrit baru saja dikeluarkan oleh Sang raja untuk memuluskan rencana transisi kekuasaan dari para pangeran generasi kedua ke generasi ketiga. Sang raja sendiri diperkirakan akan menjadi raja yang terakhir dari generasi kedua setelah baru-baru ini ia menyingkirkan saudara tirinya dari garis suksesi. Sang raja lantas memberikan keponakannya posisi putra mahkota, serta menunjuk putranya sendiri sebagai deputi putra mahkota. Dengan sejumlah pergantian jabatan yang dilakukan oleh sang raja, sesungguhnya ia telah berhasil memuluskan langkah bagi klannya untuk menjadi satu-satunya faksi yang paling berkuasa dalam menentukan arah kerajaan tersebut di masa yang akan datang.

Sepeninggal pendiri kerajaan yang merupakan ayah dari sang raja, ada kesepakatan tak tertulis bahwa kekuasaan akan diberikan kepada anak-anak dari sang pendiri secara bergiliran berdasarkan pada asas senioritas. Sistem sirkulasi kekuasaan inilah yang menjadikan kerajaan ini unik dari sistem monarki manapun di muka bumi. Sang pendiri kerajaan memiliki setidaknya 43 anak dari 22 istrinya, 36 diantaranya merupakan laki-laki. Tidak semua anak memperoleh kesempatan menduduki kursi singasana, beberapa diantaranya tersingkir oleh karena kompetisi politik antar faksi, dan sisanya lebih dikarenakan faktor alamiah, yakni tidak berumur panjang.

Pendiri kerajaan menikahi istri-istrinya dalam rangka politis, yakni untuk menyatukan wilayah dengan para penguasa tribal untuk memperkuat dan memperbesar daerah kerajaannya. Itulah mengapa kontestasi diantara para pangeran terjadi secara alamiah, mereka berusaha untuk mengamankan kekuasaan klan atau keturunannya. Sang raja sendiri merupakan bagian dari klan terkuat dalam keluarga kerajaan, putra dari salah satu istri yang paling penting dari sang pendiri kerajaan. Tidak pernah ada istri yang begitu banyak melahirkan putra bagi sang pendiri selain ibunda sang raja. Klannya juga diketahui sebagai yang paling awal mendukung ekspansi kerajaan pada awal mula berdirinya. Bahkan ibunda dari sang pendiri kerajaan juga diketahui berasal dari klan yang sama.

Tujuh putra yang dilahirkan oleh ibu sang raja merupakan orang-orang penting di keluarga kerajaan. Mereka kerap disebut sebagai the magnificent seven. Sebelum dirinya menjabat sebagai raja, almarhum saudara tertuanya juga pernah menempati posisi yang sama. Itulah mengapa sang raja memiliki legitimasi yang sangat kuat untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya agar masa depan kerajaan ini tetap dilanjutkan oleh klannya. Yang menarik, ada alasan tersembunyi dari mengapa ia memilih keponakannya sendiri sebagai putra mahkota. Sebab, sang keponakan tidak memiliki seorang putra yang mampu menggantikannya. Hal ini memberi keringanan langkah bagi putra dari sang raja sendiri dalam jabatannya sebagai deputi putra mahkota agar kelak dapat meneruskan suksesi kekuasaan  monarki terkaya di semenanjung Asia Barat Daya ini.

Recent Post