Tepat di mulut teluk Persia, sebelah tenggara dari gurun
Rub’ al Khali, berdirilah sebuah negeri independen yang dikenal paling toleran
dan paling damai di semenanjung Arabia, Kesultanan Oman. Di sini, mereka yang
menganut agama non-Islam mendapatkan jaminan dari otoritas untuk menjalankan
praktik keagamaannya tanpa diskriminasi apapun. Komunitas Hindu, Kristen
Katolik, Koptik dan Protestan hidup rukun dan damai dengan mayoritas Islam.
Kondisi ini mungkin terjadi oleh karena cara pandang orang Omani terhadap Islam
yang mereka yakini.
Mayoritas penduduk Oman menganut Islam, tetapi bukan Sunni, bukan pula Syiah. Mereka adalah penganut Ibadi, sebuah aliran Islam yang asal-usulnya dikenal dalam dunia Islam sebagai kelompok Khawarij. Tidak banyak orang yang tahu tentang aliran ini, tidak pula di kalangan umat Islam sendiri. Yang jelas, selama berabad-abad eksistensi mereka nyata, tidak hanya di Kesultanan Oman sebagai penampung terbesar komunitas Ibadi, tetapi juga di sebagain Afrika Utara, Zanzibar, dan Tanzania.
Dalam sejarah Islam, Khawarij dikenal sebagai kelompok
garis keras yang telah muncul pada era khalifah rasyidun ketiga, Utsman bin
Affan. Mereka kemudian mendukung Ali hingga pada akhirnya menyatakan
ketidaksepakatannya terhadap keputusan Khalifah Ali yang menerima arbitrase
dalam Perang Shiffin dengan Muawiyah bin Abu Sufyan perihal sengketa
kekhalifahan pada 37 H. Kelompok khawarij pada mulanya mendukung Kekhalifahan
Ali, akan tetapi setelah arbitrase mereka memandang Ali telah murtad, karena
dianggap telah berhukum selain dari hukum Allah. Mereka lantas mengkafirkan Ali dan
membunuhnya. Mereka juga hendak membunuh Muawiyah namun tidak memperoleh
kesempatan.
Secara umum teologi Khawarij memandang pendosa besar
telah kafir dan harus dibunuh. Bahkan mereka memandang seorang muslim yang
tidak mau membunuh muslim lain yang dianggap kafir telah jatuh pada kekafiran
pula. Bagi mereka seorang khalifah yang dianggap menyimpang dari syariat wajib
diturunkan, bila perlu dipaksa dan dibunuh. Setiap muslim harus berhijrah dan
bergabung ke kelompoknya, jika tidak, maka wajib untuk diperangi. Tentu saja kelompok
Khawarij sudah tidak lagi eksis saat ini, Ibadi bisa dikatakan sebagai
satu-satunya yang tersisa. Namun menarik untuk mengetahui bagaimana kelompok
ini kemudian bertransformasi dan menganut teologi yang begitu toleran dan
damai, jauh dari kesan Khawarij yang pernah dikenal dalam sejarah Islam?
Ternyata sejak mulanya, sekte ini memang tidak pernah
benar-benar sama seperti Khawarij pada umumnya. Mereka disebut sebagai bagian
dari kelompok Khawarij hanya karena tidak mengakui otoritas Kekhalifahan Utsman.
Akan tetapi mereka tidak pernah sampai mengkafirkan atau bahkan sampai
menghalalkan darahnya. Pada era berkuasanya Dinasti Umawiyah, kelompok ini bahkan
pernah ‘digunakan’ oleh khalifah untuk menangkis pemikiran kelompok Khawarij arus
utama yang menganut teologi garis keras.
Barulah setelah kematian petinggi kelompoknya, Jabir Bin Zaid mereka kehilangan pengaruh di
lingkaran kekuasaan. Petinggi mereka selanjutnya, Abdullah Ibn Ibadh al Tamimi
yang kemudian namanya dinisbatkan kepada kelompok ini tidak mendukung sang
khalifah, sehingga kelompok Ibadi mengalami diskriminasi. Mereka pun memutuskan
untuk menjauhi Basrah, pusat kekuasaan Islam kala itu. Beberapa dari mereka
kemudian hijrah ke Hadramaut, Yaman, Zanzibar, Tunisia,
Aljazair, Libya, Mesir dan Khurasan. Tetapi mayoritas mereka hingga kini
tinggal di Nizwa, salah satu wilayah yang saat ini dikenal sebagai Oman.
Muscat, Oman |
Sebagai konsekuensi logis dari teologi Ibadi yang
toleran, kehidupan masyarakat di Oman sangat jauh dari huru-hara seperti yang
terjadi di negeri-negeri Timur Tengah lainnya. Kedamaian memberikan stabilitas
dan rasa aman, sehingga berbuah pada kemajuan dalam bidang ekonomi dan
perdagangan. Musqat, sebagai ibukota kesultanan yang secara geografis berada di
pinggir laut, merupakan salah satu pelabuhan multi-nasional yang penting di
kawasan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar