Sore itu
hujan deras dan awan hitam pekat meliputi langit Istanbul, sesekali petir
menyambar dengan kerasnya. Sultan Mehmed berdiri di depan kaca balkon istana
Dolmabahce, menghadapkan pandangan matanya ke arah selat Bosphorus yang berada
tak jauh dari pelataran Istana megah bergaya campuran Neo-Klasik dan Turki yang
dibangun setengah abad yang lampau. Ia kesulitan mengenali kapal-kapal yang
sedang berlayar melintasi selat oleh karena pandangan mata terbatas oleh kabut
tebal. Namun sore itu, bukan hanya pemandangan Istanbul saja yang suram,
melainkan masa depan seluruh kesultanan Ottoman.
Protes Massa Akibat Pendudukan Tentara Sekutu di Istanbul |
Pasukan Inggris telah mendarat di Basrah, merangsek masuk hingga merebut Baghdad dan seluruh Mesopotamia. Sedangkan di front barat, korp militer Afrika milik imperium tersebut berhasil menguasai Palestina, termasuk kota suci Jerusalem. Bahkan di Anatolia sendiri, pasukan Armenia yang didukung oleh kekuatan sekutu berhasil melakukan serangan balasan terhadap tentara Ottoman. Namun, diantara semuanya tak ada yang lebih menyakitkan dari pada tusukan pisau pengkhianatan yang dilakukan oleh bangsa Arab, saudara sesama Muslim, yang memilih untuk mendukung Inggris dan menyatakan pemberontakan terhadap kekhalifahan di wilayah Hejaz hingga Iraq dan Levant.
Pasukan Imperium Inggris |
Kekalahan
sudah hampir di depan mata. Kekuatan Entete yang mengikat aliansi Turki dengan
Jerman, Kekaisaran Austro-Hunggaria, dan Bulgaria mengalami kekalahan di hampir
seluruh medan pertempuran, meskipun sempat memperoleh sejumlah kemenangan kecil.
The Great War, merupakan perang skala global pertama dalam sejarah manusia yang
melibatkan 70 juta personil militer, menyebabkan hilangnya hampir 9 juta nyawa
manusia, serta melukai puluhan juta lainnya. Belum pernah ada peperangan yang sedemikian
dahsyatnya hingga mengurangi populasi manusia di muka bumi sebesar itu.
Diperkenalkannya mesin-mesin pembunuh di era modern, pesawat terbang, dan
senjata kimia dalam peperangan merupakan beberapa alasan diantaranya.
Kapal Selam Inggris Berlabuh |
Sultan Memed
masih ingat, empat tahun sebelumnya, ketika ia menyerukan deklarasi jihad,
suatu pernyataan perang yang dalam syariat Islam hanya dimiliki secara
otoritatif oleh seorang khalifah. Saat itu merupakan awal terlibatnya Ottoman
dalam Perang Akbar melawan kekuatan sekutu, yang terdiri dari Inggris,
Perancis, Italia, dan Rusia. Ia masih ingat ketika tentaranya dengan gagah
berani mempertahankan selat Dardanella dari serangan kekuatan gabungan Inggris
dan tentara koloni India (Gurkha) bersama dengan korp Australia dan Selandia
Baru (ANZAC) dalam palagan Galipoli. Selat tersebut ialah pintu untuk menguasai
laut Marmara, selat Bosporus dan pada akhirnya Istanbul sendiri dengan tujuan
memberi ruang bagi armada Rusia di Laut Hitam untuk dapat menyalurkan logistik
kepada pihak sekutu. Turki menang dengan telak dalam pertempuran itu, dan
berhasil memukul mundur Inggris kembali ke Laut Mediterania. Hal ini merupakan
sebuah awal yang optimistik bagi Sultan Mehmed.
Menyandang
nama ‘Mehmed’ merupakan suatu tanggungjawab yang berat bagi Sultan. Leluhurnya,
Mehmet II dikenal sebagai ‘Fatih’ atau penakluk setelah berhasil menggenapi
hadits Rasulullah SAW menaklukkan Konstantinopel dari Kerajaan Byzantium.
Sultan Mehmed V mengira ia akan mampu melakukan hal yang sama dengan leluhurnya.
Walaupun tidak menaklukkan kota yang monumental di Eropa, setidaknya ia ingin
mengembalikan negeri-negeri Balkan atau merebut Krimea kembali ke tangan
Ottoman. Suatu target realistis, mengingat Ottoman sedang berada pada titik
paling terlemah dalam sejarahnya, hingga dijuluki sebagai ‘the sick man of
Europe.’ Namun kini, sore kelabu di Istanbul seolah mewakili masa depan
Ottoman. Inggris dan sekutunya telah merebut hampir seluruh ibu kota Islam. Kairo,
Baghdad, Damaskus, bahkan kota suci Mekah, Madinah, dan Jerusalem. Tinggal
menunggu waktu hingga Istanbul pun bernasib serupa.
Parade barisan tentara sekutu memasuki ibu kota Istanbul |
Pada bulan
Juli 1918, Sultan Mehmed V mangkat, empat bulan sebelum berakhirnya perang. Ia
tak sempat menyaksikan detik-detik jatuhnya Ottoman. Dengan langkah tegap tentara
sekutu berbaris memasuki Istanbul, ibu kota kekhalifahan Islam pada 13 November
1918. Sebuah tindakan yang harus dilakukan oleh tentara gabungan Inggris,
Perancis, Yunani dan Italia sebagai pernyataan simbolik yang menyatakan berakhirnya
partisipasi Ottoman dalam Perang Dunia sebagai pihak yang dikalahkan.
Setelah kalah
perang, posisi kekhalifahan berangsur-angsur melemah seiring dengan berubahnya
sistem politik di Turki dari kesultanan menjadi republik oleh gerakan revolusioner kaum nasionalis. Jabatan kekhalifahan pun pada akhirnya benar-benar dihapuskan pada 3 Maret 1924 oleh Majelis Nasional Republik Turki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar