Jumat, 20 Mei 2011

Politik? Ah, Sederhana Saja…

Ketika engkau mendapatkan uang Rp.5000 dari orang tuamu, kemudian mengalokasikannya untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan skala prioritas tertentu, sesungguhnya kau telah melakukan suatu proses yang hampir serupa dengan politik. Kenapa? Karena politik juga bebicara tentang distribusi nilai-nilai.

Memikirkan apakah kau merasa membeli minuman saat kau haus lebih prioritas ketimbang membayar hutang adalah tak ubahnya memikirkan apakah kau merasa lebih prioritas membangun jalan tol untuk pengembangan ekonomi ketimbang membayar cicilan hutang luar negeri. Dua-duanya sesungguhnya sama saja, yang membedakan hanyalah skalanya. Karena perbedaan skala inilah menyebabkan perbedaan istilah di antara kedua hal tersebut, dimana proses pertama hanya dinamakan manajemen diri, sedangkan yang kedua disebut proses politik.

Jika alokasi dan distribusi uang Rp. 5000 dari orang tuamu tadi hanya menyangkut hajat kehidupanmu seorang, dimana mungkin kau memakainya untuk beli eskrim, makan donat, main game, atau membeli pulpen, maka alokasi dan distribusi anggaran dalam proses politik menyangkut hajat hidup banyak orang, dimana pembelian pesawat tempur, pembangunan rumah sakit, perakitan roket, atau pembuatan rambu lalu lintas diperhitungkan di sana.

Kenapa politik selalu identik dengan perebutan kekuasaan?

Sekarang ibaratkan otakmu adalah pusat kekuasaan dalam dirimu, istana pemegang kendali bagi seluruh organ dan mengatur pemenuhan seluruh hasrat, nafsu serta keinginan. Artinya, otak yang ada di dalam kepalamu itu adalah pusaran kekuasaan yang menjadi pemimpin atas mata, tangan, perut, kaki, jari-jemari, bahkan jantung, syaraf, dan pembuluh nadi.

Jika ada salah satu bagian dari organ tubuhmu yang membutuhkan sesuatu niscaya ia akan memberitahu ‘aspirasi’-nya pada kepalamu agar engkau tahu dan segera mengambil tindakan untuk memenuhinya. Misalnya kalau perutmu membutuhkan makanan untuk diolah menjadi energi baru bagi tubuhmu yang sudah lemas, maka ia akan segera memberitahu pusat kekuasaan dalam dirimu yakni otak. Sehingga kau pun merasa lapar, dan segera mengambil tindakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan makan.

Begitu pun jikalau di suatu daerah pembangunan sangat minim, bahkan tidak ada listrik untuk menonton teve maka masyarakat di sana akan menyalurkan keinginan mereka untuk mendapatkan pembangunan jaringan listrik kepada pengambil keputusan di pusat pemerintahannya. Jadi, sudah menjadi hukum alam bahwa ketika ada kebutuhan maka akan selalu ada tuntutan untuk mendapatkannya, dan yang dapat melakukan aksi untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah penguasa.

Karenanya setiap orang yang berusaha untuk merebut kekuasaan sesungguhnya sedang berusaha untuk menyalurkan ‘aspirasi’ kebutuhannya. Sebab, dengan cara menjadi bagian dari kekuasaan, maka kebutuhan golongan masyarakat yang ia rasa selama ini belum terpenuhi bisa segera terealisasikan. Karenanya pengusaha berusaha menjadi penguasa agar birokrasi menjadi lebih ramah pada investasi, mantan polisi berusaha menjadi penguasa untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang aman dan tentram, atau seorang yang religius ingin menjadi penguasa untuk ‘membersihkan’ birokrasi dan aparatur pemerintahan. Lalu manakah dari hal itu hal yang salah?

Ya, tentu saja menjadi salah ketika motif seseorang menjadi penguasa bukan karena hendak merealisasikan kebutuhan masyarakat, melainkan hendak memperkaya pundi-pundi pribadinya. Ingat, politik itu soal bagi-bagi kan? Maka menjadi sangat mudah sebenarnya menjadi kaya raya dengan berprofesi menjadi politisi jika kau mau.

Politik itu kotor, benarkah?

Tidak, politik itu adalah istilah yang netral, jadi sama sekali bukan hal yang negatif. Ibarat sebuah pisau, tergantung siapa dan untuk kegunaan apa pisau itu dipakai. Kalau kau seorang pedagang daging, pisau akan sangat membantumu untuk memotong daging sehingga memudahkanmu dan pembeli untuk bertransaksi sesuai ukuran dan harga, tetapi jika kau adalah seorang pembunuh berdarah dingin maka pisau itu akan sangat berbahaya sekali.

Politik sesungguhnya sama saja dengan lapangan kehidupan lain yang sama-sama bekerja dalam tataran masyarakat seperti halnya ekonomi, hukum, seni dan budaya, Iptek, atau bahkan kesehatan. Bahkan kalau mau dibongkar satu per satu, semua ranah kehidupan yang tadi disebut sesungguhnya sama-sama menyimpan sisi buruk. Dalam dunia ekonomi misalnya, berapa banyak pengusaha yang mengeksploitasi lingkungan demi meraup keuntungan, berkomplotasi dengan birokrasi untuk menghindari pajak, atau menghabisi lawan-lawan bisnisnya dengan cara-cara yang tidak halal.

Dalam dunia hukum, sudah cukup sering kita mendengar kasus jaksa dan hakim yang memeras terdakwa jika mau bebas dari tuntutan. Dalam dunia seni dan budaya kita juga tak asing dengan ulah sebagian kecil seniman yang melakukan plagiarisme dengan motif mempercepat ketenaran. Di dunia iptek, kita tak akan pernah lupa bagaimana kemajuan teknologi ternyata dapat membunuh jutaan manusia, karena teknologi tersebut digunakan untuk membuat bom nuklir. Malahan di dunia kesehatan, tak jarang kita temui institusi kesehatan atau dokter yang malpraktik.

Sehingga menjadi kelirulah pendapat orang-orang yang beranggapan bahwa politik itu kotor, karena sesungguhnya setiap bidang kehidupan selalu ada sisi jahat dan sisi baik. Bukan berarti karena ada sisi buruk, berarti politik itu kita simpulkan 100% kotor, jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga, gitu lah kira-kira.

Lalu apa yang spesial dengan politik?

Begini, ada hal-hal yang memang membuat kasus korupsi anggota dewan misalnya menjadi dosa yang begitu tak termaafkan, atau pembangunan gedung baru dewan dianggap sangat menyakiti hati rakyat. Sebabnya adalah karena proses politik adalah ranah kehidupan yang paling utama, ketimbang ekonomi, hukum, dll.

Mengapa yang paling utama? Karena semua kebijakan mengenai ranah kehidupan lainnya ditentukan di lapangan politik. Tetapi masalahnya, tidak semua orang bisa menjadi pemimpin, bahkan itu tidak boleh terjadi. Bayangkan ketika berperang, semua orang menjadi panglima apa yang kira-kira akan terjadi? Karenanya, politik hanya diisi oleh sekelompok kecil manusia saja, dan karena itu maka politik menjadi sorotan yang paling digemari oleh publik. Kau mungkin sudah muak melihat politisi di teve kan?

Karena menjadi sorotan publik nomor wahid, maka setitik kesalahan yang terjadi di lapangan politik akan menjadi dosa besar yang seolah-olah tak bisa diampuni. Semua mata tertuju pada ranah ini, sehingga sedikit saja keliru, seorang politisi bisa menjadi bulan-bulanan masyarakat, dikomentari berminggu-minggu di berbagai forum internet, dianggap tidak aspiratif, dianggap menyakiti hati rakyat, dsb.

Begitulah kira-kira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post